MENU

Senin, 27 Juni 2011

masuk sekolah part 1

Hari ini aku melihat semua kakakku kecuali kang Sulkhan mulai mencoba baju-baju sekolah mereka. Mereka melanjutkan sekolah yang sempat tertunda karena pindah daerah. Buat apa sih sekolah itu? Aku beberapa bulan ini aku begitu menikmati daerah baruku ini. Setiap pagi aku selalu dibangunkan oleh suara burung-burung yang merdu, bersebelahan dengan hutan yang menawarkan udara lebih bersih, sepanjang hari disela-sela ayahku dan kakakku membersihkan halaman rumah yang masih berantakan oleh dahan-dahan pohon tumbang aku menyibukkan diri dengan mainan kapal-kapalan mengitari parit depan rumah bersama teman-teman baruku. Gembira sekali kakakku itu seolah seragam itu sesuatu yang hebat, padahal Cuma seragam dan tidak berbeda bahkan lebih bagus lagi bajuku yang bergambar jurrasic park ( itu lo film tentang Dinosaurus yang keren banget). Aku tidak mau sekolah jika dipaksa karena bagiku bermain adalah dunia anak-anak dan jangan coba-coba diganggu.

Setelah sekian bulan aku semakin akrab dengan teman-teman satu Trans tepatnya satu jalur tepatnya lagi jalur belakang. Tidak hanya pagi tapi sepanjang hari aku bermain dan menyisakan beberapa saat saja ketika agak lapar pulang untuk makan. Sebenarnya ayah dan ibuku melarang karena setiap hari main terus kerjaannya namun apalah daya doktrin dunia anak-anak adalah bermain sudah membuatku mempunyai alasan untuk membuat mereka hanya mengucapkan “ hati-hati ya“.
Awal-awal masa trans ini memang banyak dipakai untuk membersihkan sekitar halaman dan pekarangan rumah, beberapa orang pun mulai memberi tanaman-tanaman ditanah yang baru mereka bersihkan itu. Selama beberapa bulan semua warga diberikan sembako dan banyak peralatan untuk  bercocok tanam serta benih-benih padi, kedelai, kacang serta lainnya. Ayahku pun mulai menanami pekarangan dengan padi.
Kampung ini baru beberapa bulan di huni dan belum ada penerangan seperti di Malang. Setiap hari terasa seperti sebuah desa yang sepi dan gelap. Hanya beberapa  rumah saja yang mempunyai lampu petromax menerangi serta menyeruak dikegelapan selain lampu itu hanya lampu teplok yang menghiasi rumah-rumah warga. Dan rumahku adalah salah satunya yang beruntung punya lampu super terang itu.
Petromax, lampu ajaib ciptaan Max Graetz adalah kebanggan dimalam hari. Lampu ini merupakan upaya mengoptimalkan hasil pembakaran minyak tanah menjadi sumber cahaya. Dengan tambahan tekanan (pressure) udara dan temperatur tinggi, maka terjadi sublimasi oktan minyak tanah pada nozzel. Semburan uap minyak panas ini kemudian didistribusikan melalui VA-burner yang berakhir sebagai pijaran bara api pada serat nilon atau asbes, yang memendarkan warna putih keperakan dengan intensitas ansi lument-nya lebih dari bola lampu konvensional 100 watt. Cara kerja lampu tekan ini cukup menarik. Awalnya, kaos lampu dipanaskan dengan menggunakan spiritus, lalu tangki tertutup yang berisi minyak tanah,- sebagai bahan bakar- harus dipompa agar menghasilkan tekanan yang cukup. Panas dari  kaos lampu berfungsi untuk menguapkan minyak tanah. Tekanan udara hasil pemompaan inilah yang digunakan “meniupkan” uap minyak tanah ke arah kaos lampu agar terus berpijar.

tapi tidak setiap hari ayah menyalakan lampu petromax, terkadang hanya seminggu 2 kali untuk bisa mengirit biaya minyak tanah dan kami pun agaknya terganggu karena setiap lampu petromax nyala maka bisa dipastikan banyak orang yang bertamu dirumah hingga larut malam.
Semua orang banyak memilih untuk berdiam diri dirumah masing-masing. Aku sekeluarga berkumpul di ruang tamu, ada sesuatu yang mau dibicarakan rasanya karena beberapa kakakku duduk berdampingan dengan senyum yang menghiasi wajah mereka dan aku duduk di pangkuan ibuku. Ayahku menjelaskan bahwa besok kakakku mulai sekolah. Semua perlengkapan sudah disiapkan walaupun sederhana. Ketiga kakakku besok mulai sekolah kecuali kakakku yang pertama. Ibuku menurunkanku dari pangkuannya dan berjalan menuju kamar mengambil sesuatu.
Ternyata aku pun juga akan disekolahkan…..! ibuku datang membawa sebuah tas kain bertali yang dominan berwarna hitam. Kulirik Isi tasnya itu dan mengintip 2 buah buku yang berbeda dengan gambar depan yang berbeda pula. Satu untuk menulis biasa dengan halaman bergaris horizontal semua dan satunya adalah buku strimin yang khusus untuk hitung-hitungan.
Aku menolak dan menangis. Sekolah adalah penjara bagiku, hilanglah teman-teman mainku, hilanglah kebebasannku untuk bermain, aku membayangkan banyak hal yang mengerikan dan tidak terlupakan ketika kakak keempatku Alfan dulu masih di sekolah Malang mengeluh pusing dan kemudian demam beberapa hari. Bagaimana ini? Sekolah malah menciptakan penyakit pusing dan akhirnya demam. Tau kan kalian semua apa itu pusing? Nih kukasih tau bahwa pusing itu adalah penyakit yang menyerang otak kita agar menghentikan program otak untuk berhenti berpikir banyak. Kakakku Alfan terkena itu dan aku tidak mau itu terjadi padaku. Tidak mau dan tidak akan pernah mau.
Mataku masih sembab ketika kulihat ibuku sedang mengaji Qur’an diterangi cempluk (lentera yang dari kaleng Sprite di isi sumbu dan minyak tanah). Aku masih 6 tahun kurang dan masih belum perlu sholat pikirku. Kulihat tas hitam bertali itu menggantung didekat lemari baju. Aku berharap tas itu hilang dan aku bisa terbebas dari beban sekolah. Hari ini aku ingin kembali main bersama teman-temanku, kapal-kapalan yang dibuatkan kakakku sudah kuhias dengan indah. Ditengah lamunanku ibu menoleh kearahku dan dengan cepat kupejamkan lagi mataku. Sedikit kecewa juga karena ibu mendukung jika aku disekolahkan.
Namun pagi itu aku tidak menjumpai seorangpun teman-teman yang biasanya telah berdiri didepan rumahnya masing-masing sambil menunggu kode-kode khusus dan kemudian kami bergabung menjadi kelompok yang setiap hari bermain sepanjang hari. Lenggang sekali pagi ini, kapalku yang kuhias ini kumainkan sendiri diparit depan rumah, terlihat ikan-ikan berenang kebingungan karena terganggu. Aku tidak sabar dan memutuskan untuk berjalan menyusuri tepi parit kerumah teman-teman mainku.
“ oooyy, ga’ main kapal-kapalan kah?” teriakku pada Por. Tubuhnya masih terbalut handuk, rambutnya kriwil bin kriting dan terlihat dia sumringah sekali.
“ aku mau kesekolah, nanti siang aja setelah aku pulang…” sempat kaget aku, kecewa juga karena ternyata setelah tahu semua teman mainku itu hari ini mau kesekolah semua dan menyisakan anak-anak yang kecil yang tentu tidak selevel denganku. Dari kejauhan tampak ibuku setengah berlari menghampiriku.
Akhirnya hari itu akupun telah berbaju rapi dan dilengkapi dengan sepatu putih berkaos kaki pendek berwarna hitam polos. Disampingku ibu dengan sabar mendekapku erat. Kami berdua menunggu pendaftaran masuk SD. Lelehan air mataku masih sesekali mengalir, perlu sebuah pukulan yang mendarat dipantatku untuk bisa membawaku keruangan kantor sekolah dasar ini. Aku memang sangat takut kepada ayahku. Dari sekian banyak orang yang ada diruangan kantor itu aku melirik seorang anak perempuan bersama ibunya  menertawakanku yang memang aku akui aku tidak berdandan sebagaimana biasanya dan juga lelehan airmata yang masih terus mengalir. Aku menunduk malu dan mengusap air mataku. Tes untuk masuk SD tidaklah susah karena hanya dengan memegang telinga kiri dengan tangan kanan melalui atas kepala dan juga ditanyakan umurnya apakah telah cukup untuk masuk ke SD. Setelah menunggu beberapa saat dan menjalani tes simpel itu aku diterima masuk sekolah dengan status murid percobaan karena umurku ternyata kurang. 
setelah beberapa hari sekolah pendapatku berganti. Ternyata sekolah itu menyenangkan. Aku kini mempunyai banyak sekali teman tidak hanya teman sejalur belakang tapi juga dari beberapa jalur mulai anak jawa, sunda, timor dan bugis. Agak lebih meluas lagi tempat bermainku seusai pulang sekolah. kini setiap pulang sekolah aku selalu menceritakan pengalaman sekolahku pada ibu. 
ibuku tidak lulus SD, bukan karena malas atau nakal akan tetapi sejak mbahku meninggal ibu berjuang menghidupi dirinya dengan bekerja dipabrik-pabrik. walaupun begitu ibu tidak meninggalkan belajarnya. belajar agama menjadikan ibuku sejak kecil selalu melandaskan hal-hal yang dilakukannya itu dengan agama. Siti Fatimah namanya, aku mengibaratkan ibu seperti anak tercinta rasululloh Saw Fatimah Azzahra. Tidak lulus SD bukan berarti bodoh, beliau bisa membaca dengan lancar dan menulis dengan baik. Setiap anaknya berbicara dengan senyum keramahan ibu mendengarkannya terkadang diselingi dengan mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Setiap pagi menjelang berangkat sekolah wajahku selalu dibasuh beberapa kali dan beberapa anggota tubuh lainnya juga. aku bingung supaya apa hal itu dilakukan padahal aku telah mandi namun ibu menjawabnya bahwa ini supaya kamu jadi anak yang sholeh dan pintar. setiap pagi selalu begitu. aku tidak sadar bahwa itu sebenarnya gerakan wudhu. aku dari dulu tidak pernah memperhatikan hal itu karena aku bermain-main, dunia anak adalah dunia bermain.
Di catur wulan ketiga yang menandakan masa kenaikan kelas aku yang awalnya adalah siswa percobaan berada diperingkat ketujuh. Aku naik kelas dan status percobaan tidak berlaku lagi. Aku kini mulai menikmati sekolah, tempat yang tidak seseram yang kubayangkan, tempat yang membawaku mengerti banyak hal yang positif dan tempatku membuka cakrawala ilmu yang terbentang luas. Pertengahan kelas 2 aku mulai masuk kepesantren dan banyak kisah indah yang terjadi disana.


Tidak ada komentar: