MENU

Jumat, 10 Juni 2011

TRANS BEBANIR BANGUN


Trans bebanir bangun (Part 1)


Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri (surah  Ar Ra’d ayat 11). Inilah yang mungkin terbesit dikepala ayahku saat memutuskan untuk mengikuti program pemerintah bernama Transmigrasi. Menghidupi anak yang berjumlah 5 tentu sangat berat jika hanya mengandalkan kerja serabutan yang hasilnya tentu saja tidak cukup atau lebih tepatnya adalah tidak akan menjamin masa depan anak-anaknya. Dengan harapan dapat merubah nasib maka ayahku mencari informasi mengenai transmigrasi di Disnakertrans kota Malang.
Aku sebenarnya tidak sepenuhnya setuju dengan apa yang dilakukan orangtuaku itu. Bayangkan saja aku harus meninggalkan teman-teman mainku dan khawatir sekali mereka akan melupakanku. Aku bakal sendirian ditempat yang tidak kukenal. Namun berbeda dengan ke empat kakakku yang terlihat riang sekali menantikan waktu transmigrasi. Aku heran melihat mereka padahal mereka baru saja berhenti sekolah hanya karena trans, harus kehilangan teman-teman akrab mereka dan juga tidak bisa bermandi-mandi ria disungai pinggir desa tegalron, ya desa namun sudah agak padat.
“ tenang wae as, mengko di trans iku bapak duwe omah anyar, tanah gede lan kebun sing gede juga..” jelas Alfan, kakakku yang baru kelas 2 SD saat kutanya alasannya senang itu.
Jawaban yang sama pun kudapatkan dari selmua kakakku yang lain. Tentu saja aku pun berubah girang dengan hal itu, bayangkan saja karena selama ini kami hidup dirumah yang sempit dan bocor jika hujan.
“ trus awakmu juga bakal numpak kapal gede !!!”
Deg ! kapal? Aku selama ini belu pernah melihat wujud kapal itu secara nyata. Hanya miniatur kapal seng yang berbunyi tok-tok-tok memutari embernya  paklek di pasar malam dekat perumnas. Al hasil selama beberapa hari aku bermimpi yang aneh-aneh tentang rumah baruku, kebun alpukat dan nangka seperti didepan langgar, dan naik di kapal laut besar.
Tepat pertengahan tahun 1993 saat aku baru berusia 5 tahun lebih permohonan ayah untuk mengikuti program itu disetujui dan kami sekeluarga akan di tempatkan dipulau Kalimantan tepatnya di daerah Kabupaten Berau. Aku tidak mempunyai bayangan tentang berau, apakah seperti kuto Bedah, Alun-alun di kota Malang yang kadang tiap minggu aku diajak ibuku kesana atau bahkan seperti candi Singosari yang banyak terdapat patung-patung?
Untuk mencapai pelabuhan Tanjung Priok, Surabaya kami naik Bis, aku senang sekali ini pengalaman pertama naik bis. Sesekali kulambaikan tanganku keluar jendela yang buru-buru dicegah oleh ayahku. Aku senang sekali melihat banyak gedung-gedung tinggi dan selintas pula aku melihat monument suro dan boyo tepat di depan kebun binatang Surabaya. Kapal Kalebi adalah kapal yang menjadi pengantar kami menuju tanah harapan.
Aku hanya memandang lautan luas itu selama 4 hari 5 malam di atas kapal Kalebi dengan  selalu tersenyum penuh harapan. Tidak bosan karena ternyata dikapal itu penuh oleh orang-orang yang akan bertransmigrasi seperti keluargaku. Aku mendapatkan banyak teman-teman baru dikapal itu. Namun saat malam ditengah kegembiraanku menatap tanah harapan itu kami semua dikhawatirkan oleh kapal yang mendekati areal kepualauan masalembu yang konon merupakan “Bermuda Triangle”nya Indonesia. Dan memang disekitar lautan dekat masalembu itu gelombang mendadak sangat tinggi. Seluruh penghuni kapal berdoa memohon keselamatan, hujan mulai turun menambah ketakutan, aku menangis dipelukan ibuku yang tidak berhenti istighfar. Sayup-sayup terdengar beberap orang adzan walupun sebenarnya sudah lewat waktu isya dan terlalu dini untuk subuh. Saat ketakutan itu aku tertidur dengan menyisakan senggukan tangis takut dan ketika mataku terbuka kondisi sudah stabil dan aman. Aku senang dan begitu pula semua orang. Tepat dipelabuhan Tarakan kami ditransfer ke perahu kayu kecil untuk kemudian berlayar menuju Berau melewati sungai-sungai besar dan akhirnya tepat jam 10 malam kerlap kerlip cahaya tepian pelabuhan Tanjung Redeb (ibukota Berau) menyambut kami dengan ramah. Kami sementara ditampung dipergudangan pelabuhan dan menunggu untuk diantar ke lokasi trans keesokan harinya. Lega sekali telah mencapai daratan setelah beberapa hari terombang ambing dilautan dan sekarang waktunya untuk menatap masa depan kehidupan kami semua. Aku tak sabar menunggu esok, mataku mulai ngantuk namun sebelum terpejam sempat kulihat orang tuaku sedang sholat jama’ ta'khir antara maghrib dan isya.

Tidak ada komentar: