MENU

Rabu, 22 Juni 2011

TENTANG ILMU KALAM

ILMU KALAM
A. latar belakang
Kita awali dengan Islam merupakan agama yang mempunyai sejarah pergulatan teologi yang panjang. Dengan rentang sejarah yang panjang itu, teologi Islam pernah menancapkan sebuah fakta untuk turut serta meramaikan pergulatan intelektual dalam pentas peradaban ilmu pengetahuan dan politik dunia. Berbagai konsep dan sudut pandang teologis muncul mewarnai perjalanan kebudayaan Islam.
Secara konvensional Islam memang mempunyai kepercayaan Ketuhanan yang sifatnya monoteis. Sebuah agama yang mempunyai keyakinan tentang Alloh SWT yang satu. Namun, dalam realitas penerapannya, Alloh SWT yang satu tersebut melahirkan beragam pandangan dan konsep teologis yang berbeda-beda. Artinya meskipun Alloh SWT sebagai obyek keyakinan umat Islam sama yakni Alloh SWT, namun ketika Alloh SWT yang satu itu direspon dan dipahami oleh banyak individu umat Islam sejagad, maka justru melahirkan berabagai macam konsep ketuhanan.
Banyaknya perbedaan itu berangkat dari beragamnya logika formal atau paradigama, sudut pandang dan perspektif yang digunakan oleh umat Islam sendiri dalam menangkap dan menafsirkan Alloh SWT. Satu pihak umat Islam ada yang menggunakan perspektif logis, yakni usaha memahami Alloh SWT melalui rasio (akal). Ada yang lebih mendasarkan pemahamannya melalui intuitif ( bisikan hati atau gerak hati ). Di sisi lain ada yang cukup puas dengan pemahaman teks saja dan seterusnya.
Memang banyak pendekatan yang digunakan oleh umat Islam dalam memahami Alloh, hal yang turut serta memunculkan bermacam-macamnya konsep teolog Islam adalah berkaitan dengan wajah Alloh SWT itu sendiri. Syaikh Ibnu ‘Arabi membagi Alloh SWT pada dua wajah: Dzat dan Sifat. Wajah Alloh SWT yang terdiri dari dzat dan sifat ini menyebabkan munculnya perbedaan pandangan di kalangan para mutakallim. Ada yang menyatakan bahwa Alloh SWT mempunyai sifat dan ada juga yang tidak meyakini bahwa Alloh SWT mempunyai sifat.
Hal itu akhirnya juga membawa beraneka ragamnya pola hidup dan pola pikir umat Islam. Bagi umat Islam yang masuk pada kubu Jabariyyah akhirnya lebih cenderung menyerahkan hidupnya pada nasib (fatalistic). Hal ini karena pakem teologi Jabariyyah adalah menyerahkan segala sesuatunya pada Alloh SWT. Sementara bagi umat Islam yang menjadi penganut Qodariyyah menjadikan umat Islam pada kelompok ini mempunyai sikap hidup yang optimis. Karena konsep teologi mereka menyatakan bahwa segala sesuatu yang dikerjakan oleh manusia merupakan tanggung jawab manusia. Oleh karena itu, termasuk nilai baik dan buruk adalah berasal dari manusia dan bukan dari Alloh SWT. Pola hidup dan pola pikir lainnya juga ditunjukkan oleh kelompok lainnya yang mempunyai konsep teologi berbeda.
Dinamika dan dialektika (berdialog dengan nalar) sejarah teologi umat Islam di atas hingga kini masih terus menemukan geliatnya, bahkan dalam konteks Indonesia justru mengalami penguatan. Munculnya gerakan-gerakan puritanisme (paham yang  mengaku islam paling bersih dan islam yang murni). Islam yang mengusung tema-tema radikalisme Islam, menuntut menarik Islam ke era awal.
B. sejarah awal munculnya ilmu kalam
Proses munculnya teologi dalam Islam sangat menarik untuk dikaji. Karena teologi Islam bukan lahir dari persoalan agama, melainkan justru dari persoalan politik. Persoalan yang pertama-tama timbul adalah dalam bidang politik dan bukan bidang teologi. Tetapi persoalan politik ini segera meningkat menjadi persolan teologi.
Dengan demikian, teologi Islam tersebut sangat lengket dengan persoalan politik. Ketika hendak membedah teologi, mau tidak mau juga membedah politik. Memang semenjak wafatnya Rosulullah, umat Islam menaruh penting persoalan kepemimpinan. Umat Islam Arab yang masyarakatnya terdiri dari berbagai suku, sering terjebak dalam pertentangan mengenai sosok pemimpin yang pantas menggantikan Rosulullah sebagai pemimpin masyarakat.
Diawali dengan wafatnya Nabi Muhammad Saw pada tahun 632 M dan seperti yang diketahui bahwa daerah kekuasaan Madinah bukan hanya terbatas pada kota itu saja, tetapi boleh dikatakan meliputi seluruuh semenanjung Arabia. Negeri Islam di waktu itu, seperti digambarkan oleh W.M.Watt, telah merupakan kumpulan suku-suku bangsa Arab, yang mengikat tali persekutuan dengan (Nabi) Muhammad dalam berbagai bentuk, dengan masyarakat Madinah dan mungkin juga dengan masyarakat Makkah sebagai intinya.
Timbulnya aliran-aliran teologi Islam tidak terlepas dari fitnah-fitnah yang beredar setelah wafatnya Rasulullah Saw. Setelah Rasulullah Saw wafat peran sebagai kepala Negara digantikan oleh para sahabat-sahabatnya, yang disebut khulafaur Rasyidin yakni Abu Bakar, Umar bin Khatab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Namun, ketika pada masa Utsman bin Affan mulai timbul adanya perpecahan antara umat Islam yang disebabkan oleh banyaknya fitnahyang timbul pada masa itu. Sejarah mencatat, akibat dari banyaknya fitnah yang timbulkan pada masa itu menyebabkan perpecahan pada umat Islam, dari masalah politik sampai pada masalah teologis.
Awal mula perpecahan bisa kita simak sejak kematian Utsman bin Affan r.a. Ahli sejarah menggambarkan ‘Usman sebagai orang yang lemah dan tak sanggup menentang ambisi keluarganya yang kaya dan berpengaruh itu untuk menjadi gubernur. Tindakan-tindakan yang dijalankan Usman ini mengakibatkan reaksi yang tidak menguntungkan bagi dirinya. Sahabat-sahabat nabi setelah melihat tindakan Usman ini mulai meninggalkan khalifah yang ketiga ini. Perasaan tidak senang akan kondisi ini mengakibatkan terjadinya pemberontakan, seperti adanya lima ratus pemberontak berkumpul dan kemudian bergerak keMadinah. Perkembangan suasana di Madinah ini membawa pada pembunuhan Usman oleh pemuka-pemuka pemberontak di Mesir ini.
Setelah Usman wafat Ali sebagai calon terkuat menjadi khalifah keempat.Tetapi segera ia mendapat tantangan dari pemuka-pemuka yang ingin pula menjadi khalifah, terutama Talhah dan Zubeir dari Mekkah yang mendapat sokongan dari Aisyah. Tantangan ini dapat dipatahkan Ali dalam pertempuran yang terjadi di Irak tahun 656 M. Talhah dan Zubeir mati terbunuh dan Aisyah dikirim kembali ke Mekkah.
Tantangan kedua datang dari Mu’awiyah, Gubernur Damaskus dan keluarga dekat Usman. Ia menuntut Ali supaya menghukum pembunuh-pembunuh Utsman, bahkan ia menuduh bahwa Ali turut campur dalam soal pembunuhan itu. Dalam pertempuran yang terjadi antara kedua golongan ini di Siffin, tentara Ali mendesak tentara Mu’awiyah sehingga yang tersebut akhir ini bersiap-siap untuk lari. Tetapi tangan kanan Mu’awiyah Amr Ibn Ash yang terkenal sebagai orang pandai bertaktik minta berdamai dengan mengangkat al-Quran keatas. Qurra’ atau syi’ah yang ada dipihak Ali mendesak Ali untuk mnerima tawaran itu dan dicarilah perdamaian dengan mengadakan arbitase. Sebagai pengantara diangkat dua orang, yaitu Amr Ibn ash dari pihak Mu’awiyah dan Abu Musa al-Asy’ari dari pihak Ali. Dalam pertemuan mereka, kelicikan Amr mengalahkan perasaan takwa Abu Musa. Sejarah mengatakan bahwa keduanya terdapat pemufakatan untuk menjatuhkan kedua pemuka yang bertentangan, Ali dan Mu’awiyah.Tradisi menyebutkan bahwa Abu Musa terlebih dahulu mengumumkan kepada orang ramai putusan menjatuhkan kedua pemuka yang bertentangan itu. Berlainan dengan apa yang telah disetujui, Amr mengumumkan hanya menyetujui penjatuhan Ali yang telah di umumkan Abu Musa, tetapi menolak penjatuhan Mu’awiyah. Peristiwa ini merugikan bagi Ali dan menguntungkan bagi Mu’awiyah. Khalifah yang sebenarnya adalah Ali, sedangkan Mu’awiyah kedudukannya tak lebih dari Gubernur daerah yang tak mau tunduk kepada Ali sebagai khalifah. Dengan adanya arbitase ini kedudukannya telah naik menjadi khalifah yang tidak resmi.
Sikap Ali yang menerima dan mengadakan arbitase ini, sungguh pun dalam keadaan terpaksa, tidak disetujui oleh sebagian tentaranya. Mereka berpendapat bahwa hal serupa itu tidak dapat diputuskan oleh arbitase manusia. Putusan hanya datang dari Alloh SWT dengan kembali kepada hukum-hukum yang ada dalam al-Quran. La hukma illa lillah (tidak ada hukum selain hukum dari Alloh SWT) atau la hakama illa Alloh SWT (Tidak ada pengantar selain dari hukum Alloh SWT), menjadisemboyan mereka.
Mereka memandang Ali telah berbuat salah , oleh karena itu mereka meninggalkan barisannya. Golongan mereka inilah dalam sejarah islam terkenal dengan nama al-Khawarij, yaitu orang yang keluar dan memisahkan diri.
Karena memandang Ali bersalah dan berbuat dosa, mereka melawan Ali. Ali sekarang menghadapi dua musuh, yaitu Mu’awiyah dan Khawarij.karena selalu mendapat serangan dari kedua pihak ini Ali terlebih dahulu memusatkan usahanya untuk menghancurkan Khawarij. Setelah Khawarij kalah Ali terlalu lelah untuk meneruskan pertempuran dengan Mu’awiyah. Mu’awiyah tetap berkuasa di Damaskus dan setelah Ali wafat ia dengan mudah dapat memperoleh pengakuan sebagai khalifah umat Islam pada tahun 661 M.
Persoalan-persoalan politik yang terjadi ini akhirnya menimbulkan persoalan teologi. Timbullah persoalan siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir. Khawarij menganggap Ali, Mu’awiyah, Amr Ibn al-‘As, Abu Musa al-Asy’ari dan lain-lain yang telah menerima arbitase adalah kafir.
Mereka menganggap keempat pemuka ini dianggap kafir dalam arti telah keluar dari islam, kaum Khawarij menganggap mereka harus dibunuh. Lambat laun kaum Khawarij pecah menjadi beberapa sekte. Konsep kafir turut pula mengalami perubahan. Yang dipandang kafir bukan lagi hanya orang yang tidak menentukan hukum dengan al-Qur’an, tetapi orang yang berbuat dosa besar juga dipandang kafir.
Persoalan orang yang berbuat dosa inilah yang kemudian mempunyai pengaruh besar terhadap pertumbuhan teologi selanjutnya dalam islam.Persoalanini menimbulkan tiga aliran teologi, yaitu Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah. Aliran Khawarij mengatakan bahwa orang yang telah berbuat dosa besar adalah kafir, dalam arti telah keluar dari agama islam dan ia wajib dibunuh. Kaum Murji’ah mengatakan bahwa orang yang telah melakukan dosa besar tetap masih mukmin dan bukan kafir. Adapun soal dosa yang dilakukannya, terserah kepada Alloh SWT SWT yang mengampuninya atau tidak. Sedangkan Mu’tazilah sebagai aliran ketiga tidak menerima pendapat diatas. Bagi mereka orang yang telah berbuat dosa besar bukan kafir tetapi bukan pula mukmin. Orang yang seperti ini menurut mereka mengambil posisi diantara dua posisi mukmin dan kafir yang dalam bahsa arabnya terkenal dengan istilah almanzilah bain al-manzilitain (posisi diantara dua posisi).
Dalam keadaan seperti ini timbullah dua aliran teologi yang terkenal dengan nama al-qadariah dan al-jabariah. Menurut al- qadariah manusia mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya. Sebaliknya dengan al-jabariah berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya. Manusia dalam tingkah lakunya bertindak dengan paksaan Tuhan dan gerak-gerik ditentukan oleh Tuhan, menurut jabariah.Selanjutnya, kaum Mu’tazilah dengan diterjemahkannya buku-buku falsafat dan ilmu pengetahuan Yunani kedalam bahsa Arab,terpengaruh oleh pemakaian rasio atau akal yang mempunyai kedudukan tinggi dalam kebudayaan Yunani klasik itu. Dengan pemakaian rasio ini oleh kaum Mu’tazilah membawa mereka untuk mengambil teologi liberal, dalam arti bahwa sungguh pun kaum Mu’tazilah banyak mempergunakan rasio mereka, mereka tidak meninggalkan wahyu.
Dengan penggambaran diatas sudah pasti bahwa Mu’tazilah lebih memilih qadariah dibanding jabariah yang mana golongan yang percaya pada kekuatan dan kemerdekaan akal untuk berfikir.
Teologi mereka yang bersifat rasional dan liberal ini membuat kaum pemikir tertarik akan teologi mereka yang terdapat dalam lingkungan pemerintahan Kerajaan Islam Abbasiah dipermulaan abad ke-9 Masehi. Khalifah al-Ma’mun, putra dari khalifah Harun al-Rasyid pada tahun 827 M menjadikan teologi Mu’tazilah sebagai mazhab yang resmi dianut negara. Katena telah menjadi aliran resmi dari pemerintahan, kaum Mu’tazilah mulai bersikap paksa dalam menyiarkan ajaran mereka. Terutama paham mereka bahwa al-Qur’an bersifat makhluq dalam arti diciptakan bukan bersifat qadim dalam arti kekal dan tidak diciptakan.
Aliran mu’tazilah yang bersifat rasional ini menimbulkan tantangan keras dari golongan tradisional Islam, terutama golongan Hambali, yaitu pengikut-pengikut mazhab Ibn Hambal. Politik menyiarkan aliran Mu’tazilah secara kekerasan berkurang setelah al-Ma’mun meninggal pada tahun 833 M, dan akhirnya aliran Mu’tazilah sebagai mazhab resmi dari negara dibatalkan oleh khalifah al-Mutawwakil pada tahun 856 M. Dengan demikian kaum Mu’tazilah kembali kepada kadudukan mereka semula, tetapi kini mereka telah mempunyai lawan yang bukan sedikit dari kalangan umat islam.
Perlawanan ini kemudian mengambil bentuk aliran teologi tradisional yang disusun oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari (932 M). Al-Asy’ari sendiri padamulanya adalah mu’tazilah, tetapi kemudian menurut riwayatnya setelah melihat dalam mimpi bahwa ajaran-ajaran Mu’tazilah dicap Nabi Muhammad sebagai ajaran yang sesat, al-Asy’ari meninggalkan ajaran itu dan membentuk ajaran baru yang terkenal dengan nama teologi al-Asy’ariah atau al-Asya’irah. Disamping aliran asy’ariah timbul pula di Samarkand perlawanan menentang aliran Mu’tazilah yang didirikan oleh Abu Mansur Muhammad al Maturidi. Aliran ini dikenal dengan nama teologi al-Maturidiah yang mana tidak bersifat setradisional al-Asy’ariah, akan tetapi tidak pula seliberal Mu’tazilah.
Selain Abu al-Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi ada lagi seorang teolog dari Mesir yang juga bermaksud menentang ajaran-ajaran kaum Mu’tazilah. Teolog itu bernama al-Tahawi (933 M) yang mana ajaran-ajaran ini tidak menjelma sebagai aliran teologi Islam.
Dengan demikian aliran-aliran teologi penting yang timbul dalam islam adalah aliran Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah, Asy’ariah dan Maturidiah. Aliran Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah tidak mempunyai wujud lagi kecuali dalam sejarah. Yang masih ada sampai sekarang ialah aliran Asy’ariah dan Maturidiah, dan keduannya disebut Ahl Sunnah wa al-Jama’ah. Aliran Maturidiah banyak dianut oleh umat Islam yang bermazhab Hanafi, sedangkan aliran Asy’ariah pada umumnya dipakai oleh umat Islam Sunni lainnya.
Dengan masuknya kembali paham rasionalisme kedunia islam yang mana sekarang masuk melalui kebudayaan modern. Banyak ajaran-ajaran Mu’tazilah mulai timbul kembali, khususnya dikalangan kaum intelegensia islam yang mendapat pendidikan Barat.
Seorang tokoh islam Indonesia Harun Nasution memberikan sebuah pembagian dalam sejarah mengenai teologi islam ini. Menurut Harun Nasution yang terkenal karena berfikiran logis ala kaum mutazilah, dalam sejarah Islam, teologi Islam terbagi dalam periode atau zaman yakni zaman klasik (650-1250 M), zaman pertengahan (1250-1800 M) dan zaman modern (1800 dan setererusnya).
1. Periode klasik (650-1250 M).
Teologi yang berkembang di era klasik ini adalah teologi sunnatullah atau teologi yang berdasarkan pada hukum alam (natural law). Teologi natural pada prinsipnya keberimanan yang berdasarkan hanya pada rasio, teologi ini kajiannya murni filsafat. Lahirnya teologi sunnatullah atau natural ini didukung oleh lahirnya iklim dialog antara dunia Islam dengan alam pemikiran Yunani.
Periode klasik ini secara umum terbagi menjadi dua. Pertama adalah periode klasik (650-1000) yaitu periode zaman di mana daerah Islam mulai meluas melalui Afrika Utara sampai ke Spanyol di Barat dan di Persia sampai ke India di Timur. Daerah-daerah itu tunduk kepada kekuasaan khalifah yang pada mulanya berkedudukan di Madinah, dan kemudian di Damsyik dan terakhir di Baghdad. Di masa inilah berkembang dan maju pesat ilmu pengetahuan dan peradaban Islam. Ilmu-ilmu pengetahuan yang berkembang coraknya bermacam-macam seperti fiqh, filsafat, sufisme dan termasuk teologi. Dari periode ini ulama –ulama fiqh yang mucul seperti Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafii. Sementara dalam bidang teologi ulama-ulama yang lahir adalah Imam Al-Asy’ari, Imam Al-Maturidi, Washil Bin Atho’ Abu Huzail, Al-Nizam dan Al-Jubai.
Kedua adalah fase disintegerasi (1000-1250 M). Di masa ini persatuan dan kesatuan umat Islam mulai mengalami kemunduran. Konflik politik seringkali melanda sehingga klimaksnya adalah hancurnya imperium Islam yang menyebabkan Baghdad berhasil dikuasasi oleh Hulaghu Khan di tahun 1258.
Karena semangat pemikirannya yang cenderung antoposentris itulah, maka teologi di abad klasik ini termasuk teologi Qadariyah. Artinya manusia mempunyai kebebasan atau kemerdekaan dalam menentukan hidupnya. Seluruh prestasi yang dihasilkan oleh manusia bukanlah dari Alloh SWT melainkan dari manusianya sendiri karena manusia diyakini mempunyai kekuatan dan kapabelitas untuk menghasilkan prestasi tersebut.
Teologi sunnatullah atau Qadariyyah ini bukan sekedar beroreintasi pada kehidupan kahirat, melainkan juga mempunyai target dunia. Oleh karena itu, di era Qadariyah ini, di samping basis keimanan umat Islam karena ditopang oleh rasionalisme, bidang-bidang lain seperti ekonomi, politik dan sejenisnya mengalami kemajuan pesat. Mesir, Suriah dan Persia, ketika itu menjadi pusat perdagangan rempah-rempah, sutra dan lain-lain di Timur Tengah. Hasil-hasil yang berasal dari Timur di bawa ke Barat harus melalui daerah-daerah tersebut. Kairo, Alexandria, Damsyik, Baghdad dan Siraz (Persia) menjadi kota-kota dagang yang penting.
Sementara itu di bidang tasawuf yang berkembang adalah tasawuf falsafi. Tasawuf falsafi merupakan sebuah pemikiran atau aktifitas untuk mengenal lebih dekat kepada Alloh SWT tetapi tetap menggunakan pemiiran filosofis. Dalam mendekatkan diri kepada Alloh SWT, para sufi menempuh jalan panjang dan sulit meskipun akhirnya sampai uga pada tujuan mereka. Dalam mendekatkan diri, mereka dihinggapi oleh rasa cinta yang mendalam kepada Alloh SWT, sehingga mereka berada ditingkat al-mahabbah atau cinta ilahi. Kalau cinta mereka dibalas Alloh SWT mereka akan meningkat ke level yang lebih tinggi, yaitu al-ma’rifat.
Bukan hanya itu, pada zaman klasik ini sains juga mengalami kemajuan pesat meskipun tidak sepesat era sekarang. Ilmu kedokteran banyak dikembangkan oleh para ahli seperti Ibnu Rusyd, AlRazi dan Ibnu Shina. Ilmu kimia mengalami kemajuan di tangan jabir dan Ala-razi. Sumbangan ulama Islam bagi ilmu kimia lebih banyak dari yang diberikan oleh orang-orang Yunani. Matematika dikembangkan oleh al-Khawarizmi, Umar Al-Khayam. Angka kosnong (nol) adalah penhemuan ulama Islam yang ikemudian bersama angka Arab lainnya dibawa ke Eropa pada permulaan abad ke dua belas M. Astronomi berkembang di tangan Al-Fazzari , AlFarghani dan lain-lain.
2. Periode Pertengahan ((1250-1800 M)
Di era pertengahan ini Islam justru mengalami era kegelapan (the darkness age). Setelah Timur berhasil dihancur leburkan oleh Jengis khan dan hulaghu khan, maka hampir semua literatur –literatur Islam di bawa oleh para penjajah tersebut ke Barat sementara sebagian yang lain telah mereka bakar.
Pada periode pertengahan juga di bagi dua. Periode pertengahan I (1250-1500) adalah fase kemunduran. Pada fase ini bibit-bibit perpecahan dan disintegrasi antara umat Islam mengalami kenaikan (eskalasi). Konflik antara Sunni dan Syai’ah semakin menajam. Di sisi lain secara geofrafis dunia Islam hancur berkeping-keping mnejadi pecahan-pecahan kecil akibat kuatnya disintegrasi. Secara umum teritorial Islam terbagi dua yaitu bagian Arab yang terdiri dari Arabia, Suriah, Iraq, Palestina, Mesir dan Afrika Utara dengan Mesir sebagai pusatnya. Ke dua yaitu bagian Persia yang terdiri dari atas Balkan, Asia Kecil, Persia dan Asia Tengah dengan Iran sebagai pusat.
Fase II adalah Fase tiga kerajaan besar (1500-1800) yang dimulai dengan zaman kemajuan (1500-1700) dan zaman kemunduran (1700-1800). Tiga kerajaan besar itu adalah kerajaan Turki Utsmani (Ottoman Empire) yang berpusat di Turki, kerajaan Safawi di Persia dan kerajaan Mughal di India. Di masa kemajuan ini masing-masing kerajaan mempunyai keunggulan masing-masing khususnya di bidang literatur dan seni arsitektur. Namun, bila dibandingkan dengan kemajuan di era klasik, kemajuan di era ini sungguh jauh. Karena pada era pertengahan ini perhatian umat Islam terhadap ilmu pengetahuan masih merosot tajam atau masih sangat rendah.
Kedudukan akal yang rendah menjadikan umat Islam tidak lagi merumuskan teologi baru yang benar-benar bernash dan bergairah hingga menjadikan umat bertindak dan berpikir progresif.  Pada periode ini yang berkembang bukan lagi berfastabiqul khairot untuk berijtihad , tetapi justru sebaliknya mayoritas umat Islam berduyun-duyun berteduh di bawah pohon taqlid. Sikap umat Islam yang semacam, ini menyebabkan semangat dan aktifitas intelektual di dunia muslim menjadi terhenti .
Selanjutnya, karena tidak adanya pemikiran logis yang mampu merenungkan alam semesta, sebagaimana yang dipraktikkan oleh para pemikir dan filsof muslim, maka kreatifitas berpikir untuk merumuskan teologi-teologi baru tidak tampak. Umat Islam hanya percaya bahwa seluruh jagad raya ini adalah dikendalikan oleh yang maha satu yaitu Alloh SWT.
Kondisi yang dekade ini justru diperparah dengan distrosi terhadap nilai-nilai Tasawuf. Tasawuf yang di era klasik menjadi pemicu kemajuan, kini di era pertengahan di jadikan sebagai tarikat. Praktik sufisme yang sudah mengental menjadi praktik tarikat ini akhirnya menjadikan seluruh aspek tasawuf tergerus menjadi tasawuf amali dan tasawuf falsafi yang akrab dengan aktifitas dan semangat perenungan, berpikir, berfilsafat dan refleksi menjadi tidak berlaku.
Namun karena seperti yang telah disinggung di atas, bahwa karena teologi Islam adalah lahir dari masalah politik, maka di dalam paham ini sebenarnya kuat sekali tendensi politiknya. Hal ini nampak sekali pada penguasa daulah Umayyah di Damaskus. Seolah-olah karena didorong oleh keperluan membela sahabat utsman Bin Affan, tetapi yang pasti itu hanyalah sekedar topeng belaka, kepentingan utamanya adalah untuk kepentingan politiknya sendiri.
Dengan teologi yang demikian itu, maka produktifitas para ulama di masa ini menurun drastis. Hasil-hasil karya yang sejak era klasik bisa berkembang pesat dengan berbagi jenis keilmuan, di era pertengahan ini mengalami mati suri. Begitu juga di bidang lain seperti ekonomi dan, industri dan pertanian juga menurun drastis. Hanya di bidang politik yang agak menonjol karena pada zaman pertengahan ini masih dijumpai tiga imperium besar yaitu Turki Utsmani, Safawi dan Mughal.
3. Abad Modern (1800 dan seterusnya)
Ketika memasuki abad ke 19 umat Islam mengalami keterkejutan yang luar biasa. Sebab, pada era ini Eropa atau Barat, yang di era klasik masih berada dalam kegelapan dan kemunduran, kini justru berbalik menjadi pusat beradaban dunia. Era kemajuan di Barat inilah yang populer disebut sebagai abad modern. Peradaban ini pada hakekatnya adalah hasil renaissance dan pencerahan (enleighment) yang terjadi di eropa. Era renaissance adalah era lahirnya kebebasan dan terlepasnya kehidupan dari norma-norma agama. Era renaissance ini ditandai oleh munculnya pengetahuan baru yang didapatkan melalui intensitas observasi dan pengamatan alam semesta. Pada taraf ini dunia atau alam semesta menjadi daya tarik utama untuk menghasilkan ilmu pengetahuan. Dari sini berkembanglah ilmu astronomi dan geography. Meskipun sebelumnya, di dunia Islam ilmu-ilmu semacam ini sudah pernah ditemukan oleh para pemikir muslim.
Yang menarik di sini adalah, ternyata Islam juga merupakan faktor penentu lahirnya modernistas di Barat. Memang periode klasik Islam telah melahirkan peradaban Islam, yang berpengaruh terhadap peradaban Barat. Pengaruh ini diakui oleh pengarang-pengarang Barat seperti Gustave Le Bon, Jacques Risler, Rom Landau dan Alfred Guillaume.
Semangat zaman yang antroposentris ini akhirnya melahirkan berbagai sikap hidup di antaranya adalah sikap kritis. Sikap kritis ditujukan terhadap dogma-dogma agama yang sudah sekian tahun membatu. Sikap yang lain adalah humanisme. Sikap ini ditunjukkan dengan maraknya berbagai hasil karya seni seperti musik, lukis, patung atau drama yang lebih mengangkat manusia dasripada eksistensi Alloh SWT. Seperti lukisan Leonardo Davinci tentang Monalisa. Lukisan ini merupakan pertanda terjadinya peralihan peradaban dari yang sebelumnya berbasis pada nilai teosentrisme menuju ke wilayah humanisme.
Melihat fajar pencerahan dan kebangkitan peradaban di Barat yang berkembang pesat itu, hal itu seolah menyentak umat Islam dari tidur panjangnya yang dia lakukan sejak era pertengahan. Ketika modernitas ini muncul Barat, maka umat barus melek bahwa umat Islam telah mengalami dekadensi dan kemunduran yang luar biasa. Akibat kemundurannya itu, umat Islam akhirnya menjadi obyek penjajahan Barat. Salah satu bukti konkritnya adalah hancurnya tiga kerajaan besar– yang di era pertengahan masih eksis— oleh ekspansi dan imperialisme bangsa Barat. Turki Utsmani yang pernah berjaya di abad pertengahan mengalami kekalahan dalam perangnya di Eropa, kerajaan Safawi di Mesir, dalam waktu tiga minggu berhasil ditaklukkan oleh Napoleon Bonaparte dan kerajaan Mughal di India telah dihancurkan oleh Inggris.
Melihat dahsyatnya imbas peradaban modern terhadap dunia Islam tersebut, para pemikir muslim akhirnya terlecut untuk berpikir keras merumuskan teologi yang bisa membangkitkan kembali girrah umat Islam untuk mencapai kejayaannya yang telah sirna. Muncullah kemudian para mujadid baru dalam dunia Islam dengan menawarkan berbagai ide yang bertujuan memajukan dunia Islam dan mengejar ketertinggalannya dari Barat. Atas semangat ini dunia Islampun mulai ikut memasuki rimba raya modernitas.
Namun, usaha-usaha pembaharuan atau modernisasi dalam dunia Islam, sebenarnya sebelumnya telah dimulai dari sebuah zaman yang disebut modern ini. Usaha-usaha itu terutama dijalankan oleh kerajaan Utsmani. Dalam peperanganya dengan negara-negara Eropa, kerajaan Turki Utsmani pada awal abad ke 17, mengalami kekalahan dari Peter Agung dari Rusia. Dengan modernisasi yang dilakukan oleh Rusia, Rusia menjadi lebih kuat dari Turki Utsmani. Hal ini akhirnya, membuat sultan-sultan Utsmani juga ingin mengadakan modernisasi di Turki, terutama di lapangan militer. Usaha-usaha yang modernisasi yang dijalankan oleh sultan Utsmani pada waktu itu lebih terpusat pada usdaha untuk memperkuat kekuatan militer.
Di antara tokoh-tokoh mujadid atau pemikir-pemikir baru Islam yang sangat getol mengusung isu-isu modern adalah Muhammad Abduh, Rasyid Ridlo, Jamaluddin Al-Afghani, Zia Gokalp, Seyyid Ahmad Khan dan seterusnya. Para pemikir dan filsof ini adalah tokoh-tokoh pembaharu yang mencoba menyerukan untuk kembali kepada teologi sunnatullah dengan pemikiran rasional, filosofis dan ilmiah zaman klasik di kalangan ulama dan umat Islam zaman modern.
Untuk merealisasikan semangat teologi tersebut, maka pada abad ke 19 mulai didirikan sekolah-sekolah modern gaya Barat di Mesir, Turki dan India. Di sekolah-sekolah ini semangat ilmiah mulai dihidupkan kembali. Pola berpikir yang rasional, filosofis dan ilmiah mulai dibudayakan. Di samping semangat rasionalitas yang ada dalam teologi sunnatullah, unsur lain yang turut dikampanyekan oleh para pemikir atau mujadid masa-masa awal adalah perlunya untuk kembali kepada al-Qur’an dan hadits. Sebagian para mujadid berasumsi bahwa di samping faktor politik yang sudah rapuh, salah satu sebab mundurnya umat Islam adalah dipicu oleh kuatnya takahyyul, bid’ah dan khurofat yang berkembang di dunia umat Islam. Umat Islam, selama ini terjerembab ke dalam jurang mistik yang dalam sehingga tidak bisa berpikir secara jernih dan rasional.
Oleh karena itu dengan kembali ke al-Qur’an dan Hadits itu dimakusdkan agar umat Islam bisa kembali berpikir jernih dan tidak terperangkap oleh takahyyul dan mitos-mitos agama. Di samping itu, dalam memahami al-Qur’an diharapkan umat Islam lebih rasional.
Dari sini bisa diketahui bahwa gerakan pembaharuan umat Islam untuk kembali kepada teologi sunnatullah adalah mirip dengan gerakan modernisme di Barat yang mana otoritas gereja yang lebih mengedepankan mistik dan dogma-dogma agama. Namun karena pola berpikir mistik dan penuh takhayyul tersebut yang sudah sedemikian rupa mendarah daging di kalangan umat Islam agaknya sulit untuk ditanggulangi. Entah karena ketakutannya atau karena sudah terlalui enak dengan pola berpikirnya itu, maka banyak umat Islam yang ragu-ragu atau kurang percaya diri dengan teologi sunnatullah. Mereka yang fatalistik ini masih menganggap bahwa segala –galanya telah ditentukan secara mutlak oleh Alloh SWT.
C. Perbedaan Dalam Setiap Aliran
1.      Khawarij
Kata khawarij secara etimologi berasal dari bahasa Arab, yaitu kharaja yang berarti keluar, muncul, timbul atau memberontak. Syahrastani mengartikan khawarij sebagai  kelompok masyarakat yang memberontak dan tidak mengakui terhadap imam yang sah dan sudah disepakati oleh kaum muslimin, baik pada masa sahabat, pada masa tabiin maupun pada masa sesudahnya.
Doktrin-doktrin pokok Khawarij Diantara doktrin-doktrin pokok Khawarij adalah berikut ini.
a.       Khalifah atau Imam harus dipilih secara bebas oleh kaum Muslimin;
b.   Khalifah tidak harus berasal dari keturunan Arab. Siapapun berhak menjadi khalifah apabila memenuhi syarat;
c. Khalifah dipilih secara permanen selama yang bersangkutan bersikap adil dan menjalankan syariat Islam. Ia harus dijatuhkan bahkan dibunuh kalau melakukan kezaliman;
d.    Khalifah sebelum Ali (Abu Bakar, Umar, dan Utsman) adalah sah. Tetapi setelah tahun ketujuh dari masa kekhalifahannya, Utsman r.a dianggap telah menyeleweng;
e.      Khalifah Ali adalah sah, tetapi setelah adanya Arbitrase, ia dianggap telah menyeleweng;
f.    Muawaiyah dan Amr bin Ash serta Abu Musa Al-As’ary juga telah dianggap menyeleweng dan telah menjadi kafir;
g.      Pasukan perang jamal yang telah melawan Ali juga Kafir;
h.    Seseorang yang berdosa besar tidak lagi disebut muslim sehingga harus dibunuh. Yang lebih parah, mereka menganggap bahwa seorang muslim dapat menjadi kafir apabila ia tidak mau membunuh muslim lain yang telah dianggap kafir dengan resiko ia menanggung beban harus dilenyapkan pula;
i.     Setiap muslim harus berhijrah dan bergabung dengan golongan mereka. Bila tidak mau bergabung maka ia wajib diperangi karena hidup dalam dar el-harb (Negara musuh), sedang golongan mereka sendiri dianggap berada dalam dar al-islam (Negara Islam);
j.        Seseorang harus menghindar dari pimpinan yang menyeleweng;
k.   Adanya wa’ad dan wa’id (Orang yang baik harus masuk surga, sedangkan yang jahat harus masuk kedalam neraka);
l.        Amar ma’ruf nahi munkar;
m.    Memalingkan ayat-ayat al-Quran yang tampak Mutasabihat (samar);
n.      Quran adalah makhluk;
o.      Manusia bebas memutuskan perbuatannya, bukan dari Tuhan.

2.      Murjiah
Ada beberapa teori yang mengemukakan asal-usul adanya aliran Murjiah.Teori pertama mengatakan bahwa gagasan Irja’a atau arja dikembangkan oleh sebagian sahabat dengan tujuan menjamin persatuan dan kesatuan umat Islam ketika terjadinya pertikaian politik dan juga bertujuan untuk menghindari sektarianisme. Diperkirakan Murjiah ini muncul bersamaan dengan munculnya Khawarij.
Teori lain mengatakan bahwa gagasan irja, yang merupakan basis doktrin Murjiah, muncul pertama kali sebagai gerakan politik yang diperlihatkan oleh cucu Ali bin Abi Thalib, Al-Hasan bin Muhammad Al-Hanafiyah, sekitar tahun 695.
Teori lain mengatakan bahwa ketika terjadi perseteruan Ali dan Muawiyah, dilakukan Tahkim atas usulan Amr bin Ash, pengikut Muawiyah.Kelompok Ali terpecah menjadi dua kubu, yang pro dan yang kontra. Kelompok kontra akhirnya keluar dari Ali, yaitu kelompok Khawari j, yang memandang bahwa keputusan takhim bertentangan dengan al-Quran. Oleh karena itu, pelakunya melakukan dosa besar dan pelakunya dapat dihukumi kafir. Pendapat ini ditolak oleh sebagian sahabat yang kemudian disebut Murjiah, yang mengatakan bahwa pembuat dosa besar tetaplah mukmin, tidak kafir, sementara dosanya diserahkan kepada Alloh SWT, apakah dia akan mengampuninya atau tidak.
Menurut abu A’la Al Maududi Doktrinnya Murjiah adalah sebagai berikut :
a.     Iman adalah percaya kepada Alloh SWT dan Rasul-Nya saja. Adapun amal danperbuatan tidak merupakan suatu keharusan bagi adanya iman. Seseorangtetap dianggap mukmin walaupun meninggalkan perbuatan yangdiwajibkan dan melakukan dosa besar.
b.   Dasar keselamatan adalah iman semata. Selama masih ada iman di hati,setiap maksiat tidak dapat mendatangkan madarat atas seseorang. Untukmendapat ampunan, manusia hanya cukup dengan menjauhkan diri darisyirik dan mati dalam keadaan akidah tauhid.
3.      Jabariah
Asy-Syahrastani membagi Jabariah dalam dua bentuk, yaitu Jabariah Murni, yang menolak adanya perbuatan berasal dari manusia dan memandang manusia tidak memiliki kemampuan untuk berbuat, Jabariah Pertengahan (Moderat), yang mengakui adanya perbuatan manusia namun perbuatan manusia tidak membatasi. Namun, orang yang mengakui adanya perbuatan makhluk yang mereka namakan “kasb” bukan termasuk Jabariyah.
Doktrin-doktrin Jabariyah secara umum dapat dipaparkan sebagai berikut, yaitu :
a.   Fatalisme, yakni kepasrahan total yang menganggap manusia tidak dapat melakukan apa-apa, tidak memiliki daya, dan dipaksa berbuat oleh Alloh SWT Swt.
b.      Surga dan Neraka tidak kekal, tidak ada yang kekal selain Alloh SWT Swt.
c.    Iman adalah ma’rifa t atau membenarkan dalam hati. Dalam hal ini, pendapat ini sama dengan konsep iman yang di ajarkanMurji’ah.
d.      Kalam Tuhan adalah Makhluk.
e.      Tuhan tidak dapat dilihat di akhirat.

4.      Qodariyah
Qodariyah berasal dari bahasa Arab, yaitu Qadara, yang artinya kemampuan dan kekuatan. Menurut terminology, Qodariyah adalah suatu aliranyang percaya bahwa segala perbuatan manusia tidak diintervensi oleh Tuhan.Jadi, tiap-tiap orang adalah pencipta dari perbuatannya.
Doktrinnya adalah sebagai berikut :
a.      Manusia berkuasa atas segala perbuatannya;
b.      Takdir adalah ketentuan Alloh SWT Swt yang diciptakan-Nya bagi seluruh alam semesta beserta seluruh isinya, sejak zaman azali, yaitu hukum dalam istilah al-Quran disebut Sunatullah

5.      Mutazilah
Beberapa versi tentang pemberian nama Mu’tazilah (golongan kedua) ini,merujuk pada peristiwa yang terjadi antara Washil bin A’tha, Amr bin Ubaid dan Hasan Al-Basri di Basrah. Ketika Washil mengikut pengajaran yang diberikan oleh Hasan al-Basri tentang dosa besar. Ketika Hasan Basri masih berpikir. Washil mengemukakan pendapatnya dengan mengatakan, “ Saya berpendapat bahwa orang yang berdosa besar, bukan mukmin dan bukan pula kafir, tetapi berada dalam posisi diantara keduanya, tidak mukmin dan tidak kafir.” Kemudian Washil menjauhkan diri dari Hasan Basri dan pergi di tempat lain di lingkungan masjid.
Disana Washil mengulangi pendapatnya di depan para pengikutnya. Dengan peristiwa ini, Hasan Basri berkata,” Wazhil menjauhkan diri dari kita (I’tazaala anna). Menurut Asy-Syahrastani, kelompok yang menjauhkan diri inilah yang kemudian disebut sebagaiMu’tazi lah.
Doktrinnya adalah sebagai berikut :
a.   At-Tauhid (pengesaan Tuhan) merupakan prinsip utama dan intisariajaranMu’tazi lah. Sebenarnya, semua aliran teologis dalam Islammemegang doktrin ini. Namun, Tauhid dalam pahamMu’tazilahmemiliki arti spesifik. Yaitu : Tuhanlah satu-satunya yang Esa, yang unik dan tidak satupun yang menyamai-Nya. Karena itu, Dia-lah yang qadim. Bila ada yang qadim lebih dari satu, maka telah terjadi ta’adud al qudama (terbilangnya zat yang tak berpemulaan). Mu’tazilah menolak konsep Tuhan memiliki sifat-sifat, penggambaran fisik, dan Tuhan dilihat dengan mata kepala.
b.      Al Adl
-         Perbuatan manusia : apapun yang diterima manusia di akhirat merupakan balasan dari perbuatan di dunia.
-        Berbuat baik dan terbaik : kewajiban tuhan untuk berbuat baik bahkan terbaik untuk manusia.
-          Mengutus rasul merupakan kewajiban tuhan untuk manusia.
c.       Al Wa’ad wa al Wa’id : janji dan ancaman.
d.      Al munzilah bain al manzilatain : Menurut pandanganMu’tazilah, pelaku dosa besar tidak dapatdikatakan sebagai orang mukmin secara mutlak. Hal ini karenakeimanan menuntut adanya kepatuhan kepada Tuahan, dan tidak cukuphanya pengakuan dan pembenaran. Pelaku dosa besar juga tidak biasdikatakan kafir secara mutlak karena ia masih percaya kepada Tuhan,Rasul-Nya, dan mengerjakan pekerjaan yang baik
e.  Al-Amru bi al-Ma’ruf wa an-Nahyi an-Munkar : menyuruh kebaikan dan mencegah kemungkaran.

6.      Syiah
Menurut Abu Zahrah, Syiah mulai muncul pada akhir masa pemerintahan Utsman bin Affan kemudian tumbuh dan berkembang pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Adapun menurut Watt, Syiah benar-benar muncul ketika berlangsung peperangan antara Ali dan Muawiyah pada perang Siffin. Dalam respon ini, golongan yang mendukung Ali disebut sebagai Syiah dan yang tidakmenolak Ali disebut sebagai Khawarij.
Doktrin Syiah adalah :
a.       Tauhid
Tuhan adalah Esa, baik ekstensi maupun esensi-Nya. Keesaan adalahmutlak. Keesaan Tuhan tidakmurakkab (tersusun). Tuhan tidakmembutuhkan sesuatu, Ia berdiri sendiri, dan tidak dibatasi oleh ciptaan-Nya.
b.      Nubuwah
Setiap mahkluk membutuhkan petunjuk, baik petunjuk dari Tuhan maupundari manusia. Rasul merupakan petunjuk hakiki utusan Tuhan yang diutusuntuk memberikan acuan dalam membedakan antara baik dan buruk dialam semesta. Tuhan telah mengutus 124.000 rasul untuk memberikanpetunjuk kepada manusia.
c.       Ma’ad
Ma’ad adalah hari akhir untuk menghadapi Tuhan di akhirat. Mati adalah kehidupan transit dari kehidupan dunia menuju kehidupan akhirat.
d.      Imamah
Imamah adalah institusi yang diinagurasikan Tuhan untuk memberikanpetunjuk manusia yang dipilih dari keturunan Ibrahim dan didelegasikankepada keturunan Muhammad Saw.
e.       Adl
Tuhan menciptakan kebaikan di Alam semesta ini merupakan keadilan.Tuhan memberikan akal kepada manusia untuk mengetahui perkara yangsalah melalui perasaan. Manusia dapat menggunakan indranya untukmelakukan perbuatan, baik perbuatan baik maupun perbuatan buruk. Jadi,manusia dapat memanfaatkan potensi berkehendak sebagai anugrah Tuhanuntuk mewujudkan dan bertanggung jawab atas perbuatannya
7.      Ahlus sunnah wal jamaah
Ungkapan Ahl Sunnah wal Jamaah (sering disebut dengan Sunni) dapat dibedakan menjadi dua pengertian, yaitu umum dan khusus. Sunni dalam pengertian umum adalah lawan dari Syiah. Dalam artian ini,Mu’tazi lah dan As’ariyah masuk dalam golongan Sunni. Dalam pengertian khusus, Sunni adalah mazhab dalam barisan As’ari yah dan merupakan lawan dariMu’tazilah. Selanjutnya, penyebutan Ahlussunah banyak dipakai setelah munculnya aliran As’ariyah dan Maturidiyah, dua aliran yang menentang ajaranMu’tazilah.
Ajaran-ajaran Asy’ariyah adalah sebagai berikut :
a.       Tuhan dan sifat-sifat Nya
Al-Asy’ary berhadapan pada dua pandangan ekstrim. Di satu pihak dia berhadapan dengan kelompok mujassimah (antromorfis) dan kelompok musyabbihah yang berpendapat bahwa Alloh SWT memiliki sifat yang disebutkan dalam al-Quran dan Sunnah dan sifat-sifat itu harus dipahami menurut arti harfiahnya. Di pihak lain, ia berhadapan dengan Mu’tazilah yang berpendapat bahwa sifat-sifat Alloh SWT tidak lain esensi- Nya.
Menghadapi dua kelompok tersebut, al-Asy’ary berpendapat bahwa Alloh SWT memiliki sifat-sifat itu, seperti mempunyai tangan dan kaki, dan ini tidak boleh diartikan secara harfiah, melainkan secara simbolis. Selanjutnya, al-Asy’ary menjelaskan bahwa sifat-sifat Alloh SWT itu unik sehingga tidak dapat dibandingkan dengan sifat-sifat manusia.
Sifat-sifat Alloh SWT Swt berbeda dengan Alloh SWT sendiri, tetapi-sejauh menyangkut realitasnya tidak terpisah dari esensi-Nya. Dengan demikian tidak berbeda dengan-Nya.
b.      Kebebasan dalam berkehendak
Dalam kebebasan berkehendak, al-Asy’ary membedakan anta ra khaliq dan kasb. Menurutnya, Alloh SWT adalah Khaliq (pencipta) perbuatan manusia, tetapi manusialah yang mengupayakannya (muktasib).
c.       Akal dan wahyu dan kriteria baik buruk
Al-Asy’ary mengutamakan wahyu dalam menghadapi persoalan yang memperoleh penjelasan kontadiktif antara akal dan wahyu.
d.      Qadimnya Al Qur’an
Al-Asy’ary mengatakan bahwa walaupun al-Quran terdiri atas kata-kata, huruf, dan bunyi, semuanya tidak melekat pada esensi Alloh SWT dan karenanya tidak qadim. Namun, bagi al-Asy’ary al-Quran tidaklah diciptakan.
e.       Melihat Alloh SWT
Al-Asy’ary yakin bahwa Alloh SWT dapat dilihat di akhirat, tetapi tidak dapat digambarkan. Kemungkinan rukyat dapat terjadi manakala Alloh SWT sendiri yang menyebabkan dapat dilihat atau bilamana DIA menciptakan kemampuan penglihatan manusia untuk melihat-Nya.
f.       Keadilan
Alloh SWT adalah penguasa mutlak, jadi Dia tidak memiliki keharusan apapun.
g.      Kedudukan orang yang berdosa
Al-Asy’ary berpendapat bahwa mukmin yang melakukan dosa besar adalah mukmin yang fasik, sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa kecuali kufur.
Ajaran al Maturidiyah adalah sebagai berikut :
a.       Akal dan wahyu
Menurut al-Maturidi, mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan dapat diketahui dengan akal. Kemampuan akal dalam mengetahui kedua hal tersebut sesuai dengan ayat-ayat Al-Quran yang memerintahkan agar manusia menggunakan akal dalam usaha memperoleh pengetahuan dan pemikiran yang mendalam tentang makhluk ciptaan-Nya. Dalam masalah baik dan buruk, al-Maturidi berpendapat bahwa penentu baik dan buruk sesuatu terletak pada sesuatu itu sendiri, sedangkan perintah atau larangan syariah hanyalah mengikuti ketentuan akal mengenai baik dan buruknya sesuatu.
b.      Perbuatan manusia
Menurut al-Maturidi perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan karena segala sesuatu dalam wujud ini adalah ciptaan-Nya. Khusus mengenai mengenai perbuatan manusia, kebijaksanaan, dan keadilan kehendak Tuhan mengharuskan manusia memiliki kemampuan berbuat (ikhtiar) agar kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya dapat dilaksanakannya.Tuhan menciptakan daya (kasb) dalam diri manusia dan manusia bebas memakainya. Daya-daya tersebut diciptakan bersamaan dengan perbuatan manusia. Dengan demikian tidak ada pertentangan antara qudrat Tuhan yang telah menciptakan perbuatan manusia dan ikh tiar yang ada padamanusia.
c.       Kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan
Qudrat Tuhan tidak sewenang-wenang, tetapi perbuatan dan kehendak-Nya itu berlangsung sesuai dengan hikmah dan keadilan yang sudah ditetapkan-Nya.
d.      Sifat Tuhan
Al-Maturidi berpendapat bahwa sifat Tuhan tidak dikatakan sebagai esensi-Nya dan bukan pula lain dari esensi-Nya. Sifat-sifat Tuhan itu mulzamah (ada bersama, baca: inheren) zat tanpa terpisah. Menetapkan sifat Alloh SWT tidak harus membawanya pada antromorphisme karena sifat tidak berwujud tersendiri dari zat, sehingga terbilangnya sifat tidak akan membawa terbilangnya yang qadim (taaddud al-qudama).
e.       Melihat Tuhan
Al-Maturidi mengatakan bahwa manusia dapat melihat Tuhan. Hal ini diberitakan oleh al-Quran, antara lain firman Alloh SWT dalam surat Al-Qiyamah ayat 22-23. Al-Maturidi lebih lanjut mengatakan bahwa Tuhan kelak di akhirat dapat dilihat dengan mata, karena Tuhan memiliki wujud walaupun DIA immateri. Namun, melihat Tuhan, kelak di akhirat tidak dalam bentuknya (bila kaifa), karena keadaan di akhirat tidak sama dengan keadaan di dunia.
f.       Kalam Tuhan
Al-Maturidi membedakan antara kalam (sabda) yang tersusun dengan huruf dan bersuara dengan kalam nafsy (sabda yang sebenarnya). Kalam nafsy adalah sifat yang qadim bagi Alloh SWT, sedangkan kalam yang tersusun dari huruf dan kata-kata adalah bahar (hadis).
g.      Pengutusan Rasul
Akal memerlukan bimbingan ajaran wahyu untuk mengetahui kewajiban-kewajiban. Jadi, pengutusan rasul berfungsi sebagai sumber informasi.Tanpa mengikuti ajaran wahyu yang disampaikan rasul berarti manusia telah dibebankan sesuatu yang berada diluar kemampuannya.
h.      Pelaku dosa besar.
Al-Maturidi berpendapat bahwa orang yang berdosa besar tidak kafir dan tidak kekal di dalam neraka walaupun dia mati sebelum bertobat. Hal ini karena Tuhan telah menjanjikan akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatannya. Menurut al-Maturidi, iman itu cukup dengan tasdhiq dan iqrar. Sedangkan amal adalah penyempurna iman. Oleh karena itu, amal tidak akan menambah atau mengurangi esensi iman, kecuali hanya menambah atau mengurangi sifatnya saja.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmazun,Muhammad. Fitnah Kubro: Tragedi pada masa Sahabat. Jakarta : LP2SI Al-Haramain. 1999
Nasution, Harun.Dr. Prof, Islam Rasional, Mizan , Bandung, 1995
_____________________, Pembaharuan dalam Islam, Jakarta, 1990
____________________, Teologi Islam, UI-Press, Jakarta, 2007
Kertanegara, Mulyadhi, Panorama Filsafat Islam, Bandung 2005
Hardiman, Budi. F, Filsafat Modern, Gramedia Pustaka, Jakarta, 2004
Gahral Adian, Doni, Muhammad Iqbal, Jakarta, 2003
Natsir, Sahilun. Pengantar Ilmu Kalam. Jakarta : Raja Grafindo. 1994
Rozak, Abdul, et.al. Ilmu Kalam. Bandung : Pustaka Setia. 2007