MENU

Selasa, 11 Oktober 2011

kajian orientalis dalam studi hadist



Dalam Kamus Bahasa Indonesia orientalisme adalah ilmu pengetahuan tentang ketimuran atau tentang budaya ketimuran. Sementara itu dalam buku " Pembahasan Tentang Misionarime dan Orientalisme " karangan Dr. Hasan Abdur Rauf, disebutkan bahwa kata ‘Orientalisme’ secara umum diberikan kepada orang-orang non-Arab yang mempelajari ilmu-ilmu tentang ketimuran, baik itu dari segi bahasa, agama, sejarah, dan adat istiadatnya. Orang yang mempelajari ilmu itu disebut Orientalis. Khususnya orang-orang yang mempelajari tentang dunia Arab, China, Persia dan India. 
Dr. Hasan Abdul Rauf memberi batasan bahwa sebutan Orientalis diberikan kepada setiap ilmuwan Barat yang mempelajari segala sesuatu tentang ketimuran. Utamanya, istilah Orientalis diberikan kepada orang-orang Nasrani yang ingin mempelajari ilmu-ilmu Islam dan bahasa Arab.
Orientalisme yang pada awalnya adalah salah satu kajian keilmuan yang tergabung di dalam ilmu Antropologi, memiliki tujuan yang sama dengan ilmu induknya tersebut yaitu untuk mempelajari kebudayaan lain agar bisa menemukan kebudayaan terbaik yang bisa dijadikan kebudayaan percobaan bagi seluruh dunia.

Hal ini kemudian berkembang , antropologi kemudian berubah menjadi sebuah kajian keilmuan dari sebuah bangsa yang mapan terhadap kebudayaan luar. Karena masyarakat merasa mereka lebih berbudaya daripada masyarakat oriental (timur), baik itu timur jauh, timur tengah, timur selatan. Meliputi semua hal budaya, adat, norma dan juga agama-agama masyarakat timur.
Di dalam salah satu bukunya, Orientalism, Edward Said mengatakan bahwa kegiatan yang dilakukan oleh para orientalis dalam meneliti agama Islam, khususnya hadis, bukanlah pekerjaan yang murni ilmiah tanpa mempunyai maksud, artinya mereka memiliki tujuan tertentu dengan meneliti agama Islam sedemikian rupa. Tujuan itu antara lain adalah mencari kelemahan Islam dan kemudian mencoba menghancurkannya pelan-pelan dari dalam. Walaupun tidak semua orientalis memiliki tujuan seperti itu paling tidak itu adalah sebuah anomali dari sekelompok orang yang boleh dikata memiliki persentase sangat kecil. 
Mereka memilih hadis dalam upayanya untuk menyerang umat islam karena kedudukan hadis yang sangat penting dalam kehidupan kaum muslim. Hadis adalah sumber hukum kedua setelah Al Qur'an sekaligus juga sebagai penjelas dari Al Qur'an itu sendiri. Mereka lebih memilih menyerang hadis ketimbang Al Qur'an, karena hadis hanyalah perkataan manusia yang bisa saja mengandung kesalahan dan unsur-unsur negatif lainnya. Mereka sulit untuk mencoba mendistorsikan Al Qur'an karena Al Qur'an adalah sumber transendental dari Tuhan yang telah terjamin dari semua unsur negatif.


 
Inilah dua tokoh orientalis yang meragukan kesahihan hadis. Joseph Schacht dan Ignaz Goldziher.

Ada tiga hal yang sering dikemukakan orientalis dalam penelitian mereka terhadap al-Hadis, yaitu tentang para perawi hadis, kepribadian Nabi Muhammad SAW, metode pengklasifikasian hadis :

  1. Aspek Perawi. Para orientalis sering mempertanyakan tentang para perawi yang banyak meriwayatkan hadis dari rasulullah. seperti yang kita ketahui bersama para sahabat yang terkenal sebagai perawi bukanlah para sahabat yang yang banyak menghabiskan waktunya bersama rasullah seperti Abu bakar, Umar, Usman dan Ali. Namun yang banyak meriwayatkan hadis adalah sahabat-sahabat junior dalam artian karena mereka adalah orang “baru” dalam kehidupan rasulullah. Dalam daftar sahabat yang banyak meriwayatkan hadis tempat teratas diduduki oleh sahabat yang hanya paling lama 10 tahun berkumpul dengan Nabi, seperti Abu hurairah, Sayyidah Aisyah, Anas bin malik, Abdullah ibn Umar dll. Abu hurairah selama masa 3 tahun dia berkumpul dengan Nabi telah berhasil meriwayatkan lebih dari 5800 hadis, Sayyidah Aisyah mengumpulkan lebih dari 3000 hadis dan demikian juga dengan Abdullah ibn Umar, Anas.
  2. Aspek Kepribadian Nabi Muhammad SAW. Tidak cukup dengan menyerang para perawi hadis, kepribadian Nabi Muhammad juga perlu dipertanyakan. Mereka membagi status nabi menjadi tiga sebagai rasul, kepala negara, dan pribadi biasa sebagaimana orang kebanyakan. Bahwa selama ini hadis dikenal sebagai segala sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad baik perbuatan, perkataan dan ketetapan beliau juga perlu direkontruksi ulang. Sesuatu yang berdasarkan dari Nabi baru disebut hadis jika sesuatu tersebut berkaitan dengan hal-hal praktis keagamaan, karena jika tidak hal itu tidak layak untuk disebut dengan hadis, karena bisa saja hal itu hanya timbul dari status lain seorang Muhammad.
  3. Aspek Pengklasifikasian hadis. Sejarah penulisan hadis juga tidak lepas dari kritikan mereka. Penulisan hadis yang baru dilakukan beberapa dekade setelah Nabi Muhammad wafat juga perlu mendapat perhatian khusus. Hal itu, lanjut mereka, membuka peluang terhadap kesalahan dalam penyampaian hadis secara verbal, sebagaimana yang dikatakan oleh Montgomerywatt,salah seorang orientalis ternama saat ini: "Semua perkataan dan perbuatan Muhammad tidak pernah terdokumentasikan dalam bentuk tulisan semasa Ia hidup atau sepeninggalnya. Pastinya hal tersebut disampaikan secara lisan ke lisan, setidak-tidaknya pada awal mulanya. Hal itu diakui ataupun tidak sedikit banyak akan mengakibatkan distorsi makna, seperti halnya dalam permainan telpon-telponan anak kecil".
Hal diatas adalah sebagian dari pemikiran Orientalis tentang Islam , lebih spesifik lagi tentang hadis. Hal itu sedikit banyak bisa memberikan pemahaman dan wacana baru bagi kita agar kita bisa melihat hadis, sesuatu hal berharga yang kita punyai tidak hanya dengan pandangan dan penilaian kita tapi juga dengan sisi pandang orang lain, yang boleh jadi akan lebih objektif dari kita. kita harus berterima kasih kepada mereka karena telah meneliti kehidupan kita, sehingga kita bisa mengambil hasil penelitian mereka sebagai bahan koreksi dan pembelajaran bersama, terlepas dari niat-niat buruk dari sebagian mereka.
Sarjana barat yang pertama kali melakukan kajian Hadis adalah Ignaz Goldziher, seorang orientalis Yahudi kelahiran Hongaria yang hidup antara tahun1850 - 1921 M. pada tahun 1890, ia mempublikasikan hasil penelitiannya tentang Hadis dalam sebuah buku yang berjudul Muhammedanische Studien (Studi Islam). Dan sejak saat itu hingga sekarang, buku tersebut menjadi "kitab suci" di kalangan orientalis.
Dibanding dengan Goldziher, hasil penelitian Schacht memiliki "keunggulan", karena ia bisa smpai pada kesimpulan yang meyakinkan bahwa tidak ada satupun Hadis yang otentik dari Nabi Muhammad, khususnya Hadis-hadis yang berkaitan dengan hukum-hukum Islam. Sementara Goldziher hanya sampai pada kesimpulan yang meragukan adanya otentisitas Hadis. tidak aneh jika kemudian buku Schacht memperoleh reputasi dan sambutan yang luar biasa.
Baik Ignaz maupun Schacht, keduanya tidak berbicara tentang otoritas Hadis sebagai sumber hukum dalam Islam. Karena keduanya telah sepakat bahwa Hadis tidak memiliki otentitas sebagai sebuah ajaran yang bersumber dari Nabi Muhammad, padahal Hadis dapat menjadi sumber ajaran Islam, ketika ia otentik dari Nabi, sehingga tidak mungkin Hadis dapat digunakan sebagai sumber ajaran Islam.  
Keduanya justru membuat kiat-kiat yang dapat dipergunakan sebagai pendukung hasil penelitian mereka; Bahwa apa yang disebut sebagai Hadis, bukanlah sesuatu yang otentik dari Anbi Muhammad. Setidaknya ada tiga kiat-kiat digunakan, guna menyokong pendapat mereka:


  1. Mendistorsi teks-teks sejarah. Semisal tuduhan Goldziher terhadap Imam Ibn Syihab al-Zuhri (w. 123 H.). menurutnya Imam al-Zuhri telah melakukan pemalsuan Hadis, dan ia juga mengubah teks-teks sejarah yang berkaitan dengan Ibn Syihab al-Zuhri, sehingga menimbulkan kesan bahwa Imam al-Zuhri memang mengakui dirinya sebagai pemalsu Hadis. Menurut Goldziher, al-Zuhri pernah berkata, inna haula'I al-umara akrahuna 'ala kitabah ahadist (para penguasa itu memaksa kami untuk menulis Hadis). kata 'ahadist' dalam kutipan Goldizer tidak menggunakan artikel "al" (al-ahadist) yang dalam bahasa Arab memiliki makna definitif (ma'rifah), sementara dalam teks yang asli, yang merupakan ucapan Imam Ibn Syihab yang sebenarnya, seperti yang terdapat dalam kitab Ibn Sa'ad dan Ibn 'Asakir, adalah 'al-ahadist' yang berarti Hadis-hadis yang telah dimaklumi secara definitif, yaitu Hadis-hadis yang berasal dari Nabi Muhammad.
  2. Membuat teori-teori rekayasa. Bahwa untuk memperkuat tuduhannya yang menyatakan bahwa apa yang disebut Hadis adalah bukan sesuatu yang otentik dari nabi Muhammad, melainkan hanya merupakan bikinan para ulama abad pertama dan kedua, Schacht membuat teori tentang 'rekonstruksi' terjadinya sanad Hadis. teori ini dikemudian hari dikenal sebagai teori Projecting Back (proyeki ke belakang). Menurut Schacht, jurisprudensi Islam belum eksis dan permanen pada masa al-Sya'by (w. 110 H.). Hal ini artinya bahwa apabila terdapat Hadis-hadis yang berkaitan dengan hukum Islam, maka sejatinya Hadis-hadis tersebut merupakan buatan orang-orang yang lahir  dan hidup sesudah al-Sya'bi. Schacht berpendapat bahwa jurisprudensi Islam baru dikenal sejak masa pengangkatan para qadhi (hakim agama), yang baru diadakan pada dinasti bani Umayah.
  3. Ketiga melecehkan Ulama Hadis, di mana kiat para orientalis selanjutnya adalah melecehkan kredibilitas ulama Hadis, sembari menuduh mereka sebagai pemalsu. Banyak ulama yang mereka sorot dan menjadi sasaran pelecehan ini, antara lain Shahabat Abu Hurairah (w. 57 H.), Imam Ibn Syihab al-Zuhri (w. 123 H.), dan Imam Muhammad bin Ismail al-Bukhari (w. 256 H.).
Tiga tokoh tersebut menjadi sasaran pokok serangan para orientalis karena ketiganya menempati posisi-posisi yang strategis dalam kajian ilmu Hadis; Abu Hurairah adalah Shahabat yang tercatat sebagai shahabat yang paling banyak meriwayatkan Hadis dari Nabi Muhammad. Dan al-Zuhri disebut-sebut sebagai orang yang pertama kali membukukan Hadis. sementara al-Bukhari adalah tokoh yang menulis kitab paling otentik sesudah al-Quran, yaitu kitab Shahih al-Bukhari.



Kalau ada diantara orientalis yang pernah berusaha menciptakan metode kritik hadits, maka sudah bisa dipastikan arahnya, yaitu untuk menjegal metodologi yang selama ini ada. Dengan demikian akan terjadi perubahan besar dalam hukum-hukum Islam akibat dari berubahnya hadits shahih menjadi maudhu` atau yang maudhu` malah menjadi shahih


Dan akibat yang akan ditimbulkan sudah bisa anda bayangkan juga. Nantinya syariah Islam akan berubah 180 % derajat. Sesuatu yang haram bisa jadi halal dan yang halal bisa jadi haram. Bahkan zina, khamar, judi, mut`ah, mencuri dan segala kemungkaran menjadi halal. Dan sebaliknya, jilbab, qishash, hudud dan menegakkan hukum Islam menjadi terlarang. Karena haditsnya telah berubah status. Dan perubahannya itu ditentukan oleh para orientalis. Dalam hal ini seorang pemuda asal India berhasil membalikkan pemikiran yang keliru dari para orientalis yang mengkritisi hadis yakni Muhammad Mustafa Al A'zami dengan desertasi " Studies in Early Hadith Literature" pada tahun 1966 di Universitas Cambridge, Inggris. Temuan naskah kuno hadis abad pertama hijriah dan analisis desertasi itu secara argumentatif menunjukkan bahwa hadis betul-betul berasal dari Nabi Muhammad Saw. Bahkan sebelum kemunculan karya dari A'zami tersebut telah ada karya dari Mustafa As Siba'i dalam bukunya " Assunnah wakannatuha "
 
Syaikh Mustafa As Siba'i dan Syaikh M.M. Al A'zami



Daftar pustaka
M.M Azami, menguji keaslian hadits-hadits hukum. Jakarta:Pustaka Firdaus, 2004

http://moenawar.multiply.com/journal/item/5. diakses pada tanggal 5 Oktober 2011
Ali Mustafa Yaqub, Kritik hadis. Jakarta : Pustaka Firdaus, 1994
Edward said, Orientalism. 1978, pinguin press. London