MENU

Minggu, 17 April 2011

Perayaan Islam di Kalimantan

PERAYAAN ISLAM DI TANAH KALIMANTAN
Pendahuluan
Seluruh wilayah yang ada didunia ini memiliki berbagai keberagaman yang muncul berdasarkan apa yang terjadi di wilayah itu sendiri. Hal demikian ini yang akan membentuk sebuah karakter yang akan melekat dan berbeda dengan daerah yang lainnya. Oleh karena itu, dibelahan dunia ini terdapat begitu banyak peradaban yang berbeda-beda dikarenakan oleh banyak faktor diantaranya adalah letak geografisnya, kondisi alam sekitar dan lain sebagainya sehingga tidak heran dunia memunculkan banyak peradaban.
Dalam permasalahan perbedaan itu islam juga menghadapi situasi yang sama dalam penerapan yang kerap berbeda penerapan oleh penganutnya, hal ini disebabkan oleh pengaruh budaya sebelum islam hadir.
Di Indonesia tradisi setiap manusia dalam islam itu sendiri terkadang tidak murni mengadopsi persis dengan yang ada di arab sana akan tetapi menyesuaikan dengan apa yang terdapat dalam kebudayaannya. Hal itu tentu dengan catatan tidak meninggalkan pokok-pokok ajaran islam serta tradisi yang dilaksanakan tidak menyalahi aturan syariat yang ada. Mengapa kok terjadi perbedaan tradisi ini? Hal inilah yang mesti kita cermati bahwa pada hakikatnya islam ini hadir tidak pada kebudayaan yang kosong maksudnya adalah islam hadir kedalam suatu komunitas yang telah mempunyai kebudayaan sebelumnya.
Kalimantan yang merupakan suatu sub bagian kepulauan dalam Republik Indonesia juga mempunyai kebudayaan sebelum dimasuki oleh islam. Diantara yang bisa dicontohkan adalah kebudayaan suku dayak, suku Kutai, suku bajau dan lainnya turut menjadikan kebudayaan islam yang masuk sedikit banyak akan dipengaruhi oleh kebudayaan tersebut.
Walaupun kalimantan ini tidak sama posisinya dengan kehidupan dimasyarakat dipulau jawa yang memang kompleks sekali keberagaman sukunya akan tetapi penelusuran yang membahas permasalahan hampir nihil dan sulit diketemukan referensi yang lengkap.
Latar belakang
Masuknya agama islam ketanah Kalimantan ini sangatlah menarik untuk diteliti dalam melengkapi khazanah kebudayaan islam nusantara masa lampau. Sejarah kehidupan masyarakat Kalimantan pra islam atau sebelum masa islam menarik juga untuk diulas sehingga akan menciptakan sebuah runtutan yang lengkap tentang proses dari masuknya islam.
Seperti yang telah terjadi di daerah-daerah lain, penyebaran dakwah islam hampir sebagian besar dilakukan oleh para pedagang asal Gujarat, Arab ataupun Persia. Setiap tempat yang disinggahi oleh para pedagang muslim ini maka hampir dapat dipastikan bahwa islam mulai tersebar dengan berbagai macam cara yang lazim yakni pernikahan, dakwah langsung ataupun setelah membaur dengan penduduk setempat. Oleh karena itu sebagian besar wilayah yang pada zaman dulu menjadi tempat perdagangan sangat potensial menjadi tempat berdakwah mulai dari daerah pasai, sriwijaya, banten, dan tentunya Kalimantan.
Dari banyaknya proses penyebaran islam ketanah Kalimantan yang dilakukan oleh para pedagang arab dan juga masyarakat Indonesia yang telah lebih dulu memeluk islam maka dapat diprediksi akan menimbulkan akulturasi peradaban penduduk Kalimantan dengan para penyebar agama itu. Kebudayaan asal menjadi membaur dalam sebuah kebudayaan baru yang disesuaikan dengan kepercayaan mereka masing-masing. Hal inilah yang menjadikan setiap tradisi yang penduduk Kalimantan percayai menjadi dipengaruhi oleh islam mulai dari kepercayaan, adat istiadat serta berbagai macam perayaan yang diwarnai dengan unsure-unsur islam.

Kajian terdahulu

Batasan masalah
Dalam makalah ini penulis memberikan batasan-batasan masalah yang akan dibahas dalam bab selanjutnya untuk memberikan penekanan dan lebih spesifik terhadap materi yang menjadi kajian. Oleh karena itu batasan masalah dalam makalah ini adalah tentang tradisi-tradisi suku banjar, suku Kutai, suku dayak dan suku bajau dalam merayakan hari-hari besar islam seperti Idul Fitri, Idul Adha, Maulid, Isra’ Mi’raj dan lainnya.
Pembahasan
A. Suku Banjar
1. Sejarah suku banjar
Djoko Pramono menyatakan bahwa suku Banjar berasal dari suku Orang Laut yang menetap di Kalimantan Selatan . Mitologi Dayak Meratus (Dayak Bukit) menyatakan bahwa Suku Banjar dan Suku Bukit merupakan keturunan dari dua kakak beradik yaitu Si Ayuh (Sandayuhan) yang menurunkan suku Bukit dan Bambang Basiwara yang menurunkan suku Banjar .
Suku bangsa Banjar diduga berasal mula dari penduduk asal Sumatera atau daerah sekitarnya, yang membangun tanah air baru di kawasan Tanah Banjar (sekarang wilayah provinsi Kalimantan Selatan) sekitar lebih dari seribu tahun yang lalu. Setelah berlalu masa yang lama sekali akhirnya,–setelah bercampur dengan penduduk yang lebih asli, yang biasa dinamakan sebagai suku Dayak, dan dengan imigran-imigran yang berdatangan belakangan–terbentuklah setidak-tidaknya tiga subsuku, yaitu (Banjar) Pahuluan, (Banjar) Batang Banyu, dan Banjar (Kuala).
Banjar Pahuluan pada asasnya adalalah penduduk daerah lembah-lembah sungai (cabang sungai Negara) yang berhulu ke pegunungan Meratus.
Banjar Batang Banyu mendiami lembah sungai Negara, sedangkan orang Banjar Kuala mendiami sekitar Banjarmasin danMartapura. Bahasa yang mereka kembangkan dinamakan bahasa Banjar, yang pada asasnya adalah bahasa Melayu Sumatera atau sekitarnya, yang di dalamnya terdapat banyak kosa kata asal Dayak dan Jawa. Nama Banjar diperoleh karena mereka dahulu (sebelum kesultanan Banjar dihapuskan pada tahun 1860) adalah warga Kesultanan Banjarmasin atau disingkat Banjar, sesuai dengan nama ibukotanya pada mula berdirinya. Ketika ibukota dipindahkan ke arah pedalaman (terakhir di Martapura), nama tersebut nampaknya sudah baku atau tidak berubah lagi .
Sejak abad ke-19, suku Banjar migrasi ke pantai timur Sumatera dan Malaysia, tetapi di Malaysia Barat, suku Banjar digolongkan ke dalam suku Melayu, hanya di Tawau (Sabah, Malaysia Timur) yang masih menyebut diriya suku Banjar. Di Singapura, suku Banjar sudah luluh ke dalam suku Melayu. Sensus tahun 1930, menunjukkan banyaknya suku Banjar di luar Kalsel, tetapi sensus tahun 2000 terlihat jumlahnya mengalami penurunan.
2. Tradisi perayaan hari-hari besar islam suku banjar
Beberapa perayaan islam yang dirayakan oleh suku banjar yakni sebagai berikut :
a. Tradisi Baayun yang biasa di gelar pada bulan Maulid atau bulan Rabiul Awal merupakan tradisi turun temurun masyarakat pemeluk agama Islam di Kalimantan Selatan. Tradisi berisi pembacaan doa shalawat sambil mengayun anak dalam ayunan ini sudah berlangsung ratusan tahun lamanya dan terkait dengan kepercayaan masyarakat adat Dayak pegunungan Meratus.
b. Batamat Al Qura'an merupakan salah satu tradisi agamis yang dilaksanakan ketika seseorang telah mengkhatamkan membaca Al Qur’an. tradisi batamat Al Qur’an biasanya dilaksanakan pada saat merayakan Hari Raya Iedul Fitri atau Iedul Adha. Lazimnya dilaksanakan pada hari raya tiga hari atau empat hari (hari ketiga atau keempat lebaran). Yang unik dalam perayaan ini adalah pakaian yang dipergunakan serta balai (miniatur Masjid) yang diarak-arak menuju masjid dan didalamnya diberi beberapa makanan yang akan diperebutkan oleh pengunjung/ masyarakat.
c. Maulid Basih didesa Ampukung. Perayaan ini dilakukan setiap bulan mauled. Perayaannya mirip silahturahmi seluruh keluarga/masyarakat pada saat lebaran yakni saling berkunjung kerumah-rumah.
d. Badapatan sebuah tradisi pertemuan/silahturahmi para keturunan raja pada saat lebaran. Badapatan ditandai dengan mengunjungi makam-makan raja-raja seperti Pangeran Suriansyah dsb.
B. Suku Kutai
1. Sejarah suku Kutai
Suku Kutai adalah suku asli yang mendiami wilayah Kalimantan Timur. Suku Kutai berdasarkan jenisnya adalah termasuk suku melayu tua sebagaimana suku-suku dayak di Kalimantan Timur. Diperkirakan suku Kutai masih serumpun dengan suku dayak, khususnya dayak rumpun ot-danum. Oleh karena itu secara fisik suku Kutai mirip dengan suku dayak rumpun ot-danum. Dan adat-istiadat lama suku Kutai banyak kesamaan dengan adat-istiadat suku dayak rumpun ot-danum (khususnya tunjung-benuaq) misalnya; Erau (upacara adat yang paling meriah), Belian (upacara tarian penyembuhan penyakit), memang, dan mantra-mantra serta ilmu gaib seperti; parang maya, panah terong, polong, racun gangsa, perakut, peloros, dan lain-lain. Dimana adat-adat tersebut dimiliki oleh suku Kutai dan suku dayak .
Pada awalnya Kutai bukanlah nama suku, akan tetapi nama tempat/wilayah dan nama Kerajaan. Kemudian lambat laun Kutai menjadi nama suku. Nama Kutai berawal dari nama Kerajaan Kutai Martadipura di Muara Kaman, sebenarnya nama kerajaan ini awalnya disebut Queitaire (Kutai) oleh Pendatang dan Pedagang awal abad masehi yang datang dari India selatan yang artinya Belantara dan Ibukota Kerajaannya bernama Maradavure (Martapura) berada di Pulau Naladwipa dan letaknya di tepi Sungai Mahakam di seberang Persimpangan Sungai Kanan Mudik Mahakam yakni Sungai Kedang Rantau asal nama Kota Muara Kaman sekarang.
Dalam berita Campa atau Cina disebut Kho-Thay artinya Kota Besar atau Bandar Kerajaan Besar. Jadi sebutan Kutai awalnya berasal dari berita India adalah Queitaire artinya Belantara dan Barulah kemudian dalam bahasa melayu di sebut “Kutai” (berdasarkan dialek melayu) .
2. Tradisi perayaan hari-hari besar islam suku Kutai
Dalam hal merayakan hari-hari besar islam masyarakat suku kutai membaur dengan masyarakat lainnya dan hal ini karena dipengaruhi oleh membaurnya masyarakat dengan masyarakat lainnya seperti pendatang sehingga tidak diketemukan perbedaan yang signifikan dalam merayakannya. Perayaan yang dilakukan masyarakat kutai secara umum dilaksanakan seperti biasanya tanpa melalui acara yang diwarnai adat terdahulu walaupun dahulu terdapat kerajaan kutai akan tetapi dalam penerapannya tidaklah berbeda.
C. Suku Dayak
1. Sejarah suku Dayak
Dayak merupakan sebutan bagi penduduk asli pulau Kalimantan. Kelompok Suku Dayak, terbagi lagi dalam sub-sub suku yang kurang lebih jumlahnya 405 sub (menurut J. U. Lontaan, 1975). Masing-masing sub suku Dayak di pulau Kalimantan mempunyai adat istiadat dan budaya yang mirip, merujuk kepada sosiologi kemasyarakatannya dan perbedaan adat istiadat, budaya, maupun bahasa yang khas. Masa lalu masyarakat yang kini disebut suku Dayak, mendiami daerah pesisir pantai dan sungai-sungai di tiap-tiap pemukiman mereka .
Etnis Dayak Kalimantan menurut seorang antropologi J.U. Lontaan, 1975 dalam Bukunya Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat, terdiri dari 6 suku besar dan 405 sub suku kecil, yang menyebar di seluruh Kalimantan. Kuatnya arus urbanisasi yang membawa pengaruh dari luar, seperti melayu menyebabkan mereka menyingkir semakin jauh ke pedalaman dan perbukitan di seluruh daerah Kalimantan.
Mereka menyebut dirinya dengan kelompok yang berasal dari suatu daerah berdasarkan nama sungai, nama pahlawan, nama alam dan sebagainya. Misalnya suku Iban asal katanya dari ivan (dalam bahasa kayan, ivan = pengembara) demikian juga menurut sumber yang lainnya bahwa mereka menyebut dirinya dengan nama suku Batang Lupar, karena berasal dari sungai Batang Lupar, daerah perbatasan Kalimantan Barat dengan Serawak, Malaysia. Suku Mualang, diambil dari nama seorang tokoh yang disegani (Manok Sabung/algojo) di Tampun Juah dan nama tersebut diabadikan menjadi sebuah nama anak sungai Ketungau di daerah Kabupaten Sintang (karena suatu peristiwa) dan kemudian dijadikan nama suku Dayak Mualang. Dayak Bukit (Kanayatn/Ahe) berasal dari Bukit/gunung Bawang. Demikian juga asal usul Dayak Kayan, Kantuk, Tamambaloh, Kenyah, Benuag, Ngaju dan lain-lain, yang mempunyai latar belakang sejarah sendiri-sendiri.
Kata Dayak berasal dari kata “Daya” yang artinya hulu, untuk menyebutkan masyarakat yang tinggal di pedalaman atau perhuluan Kalimantan umumnya dan Kalimantan Barat khususnya, (walaupun kini banyak masyarakat Dayak yang telah bermukim di kota kabupaten dan propinsi) yang mempunyai kemiripan adat istiadat dan budaya dan masih memegang teguh tradisinya.
Propinsi Kalimantan Barat mempunyai keunikan tersendiri terhadap proses alkurturasi cultural atau perpindahan suatu kultur religius bagi masyarakat setempat. Dalam hal ini proses tersebut sangat berkaitan erat dengan dua suku terbesar di Kalimantan Barat yaitu Dayak, Melayu dan Tiongkok. Pada mulanya Bangsa Dayak mendiami pesisir Kalimantan Barat, hidup dengan tradisi dan budayanya masing-masing, kemudian datanglah pedagang dari gujarab beragama Islam (Arab Melayu) dengan tujuan jual-beli barang-barang dari dan kepada masyarakat Dayak, kemudian karena seringnya mereka berinteraksi, bolak-balik mengambil dan mengantar barang-barang dagangan dari dan ke Selat Malaka (merupakan sentral dagang di masa lalu), menyebabkan mereka berkeinginan menetap di daerah baru yang mempunyai potensi dagang yang besar bagi keuntungan mereka.
Hal ini menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat Dayak ketika bersentuhan dengan pendatang yang membawa pengetahuan baru yang asing ke daerahnya. Karena sering terjadinya proses transaksi jual beli barang kebutuhan, dan interaksi cultural, menyebabkan pesisir Kalimantan Barat menjadi ramai, di kunjungi masyarakat lokal (Dayak) dan pedagang Arab Melayu dari Selat Malaka. Di masa itu system religi masyarakat Dayak mulai terpengaruh dan dipengaruhi oleh para pedagang Melayu yang telah mengenal pengetahuan, pendidikan dan agama Islam dari luar Kalimantan. Karena hubungan yang harmonis terjalin baik, maka masyarakat lokal atau Dayak, ada yang menaruh simpati kepada pedagang Gujarat tersebut yang lambat laun terpengaruh, maka agama Islam diterima dan dikenal pada tahun 1550 M di Kerajaan Tanjung Pura pada penerintahan Giri Kusuma yang merupakan kerajan melayu dan lambat laun mulai menyebar di Kalimantan Barat.
masyarakat Dayak masih memegang teguh kepercayaan dinamismenya, mereka percaya setiap tempat-tempat tertentu ada penguasanya, yang mereka sebut: Jubata, Petara, Ala Taala, Penompa dan lain-lain, untuk sebutan Tuhan yang tertinggi, kemudian mereka masih mempunyai penguasa lain dibawah kekuasaan Tuhan tertingginya: misalnya: Puyang Gana ( Dayak mualang) adalah penguasa tanah , Raja Juata (penguasa Air), Kama”Baba (penguasa Darat),Jobata,Apet Kuyan'gh (Dayak Mali) dan lain-lain. Bagi mereka yang masih memegang teguh kepercayaan dinamisme nya dan budaya aslinya nya, mereka memisahkan diri masuk semakin jauh kepedalaman.
2. Tradisi perayaan hari-hari besar islam suku Dayak
Suku dayak pada mulanya penganut animisme/dinamisme dan kemudian setelah berinteraksi dengan masyarakat lainnya mereka mendapatkan sebuah gambaran baru tentang agama/kepercayaan. Perayaan yang mereka lakukan tidak jauh berbeda dengan masyarakat pada umumnya. Akan tetapi di daerah-daerah tertentu terdapat beberapa hal yang khas dalam merayakan hari besar islam seperti :
a. Perang meriam karbit di pinggir sungai Kapuas yang dilaksanakan pada saat jelang lebaran hingga pada saat takbiran. Ini merupakan tradisi yang diilhami dengan awal mula lahirnya kota Pontianak.
b. Tradisi Nanggok atau berbagi uang bagi orang yang berkecukupan kepada orang lainnya. Istilah ini sebenarnya banyak dilakukan oleh masyarakat pada umumnya pada saat lebaran.
D. Suku Bajau
1. Sejarah suku Bajau.
Pulau kalimantan bagian timur Rumpun Bangsa moro bernama Suku Bajau : Berau Suku Bajau adalah suku bangsa yang tanah asalnya Kepulauan Sulu, Filipina Selatan. Suku ini merupakan suku nomaden yang hidup di atas laut, sehingga disebut gipsi laut. Suku Bajau menggunakan bahasa Sama-Bajau. Suku Bajau sejak ratusan tahun yang lalu sudah menyebar ke negeri Sabah dan berbagai wilayah Indonesia. Suku Bajau juga merupakan anak negeri di Sabah. Suku-suku di Kalimantan diperkirakan bermigrasi dari arah utara (Filipina) pada zaman prasejarah. Suku Bajau yang Muslim ini merupakan gelombang terakhir migrasi dari arah utara Kalimantan yang memasuki pesisir Kalimantan Timur hingga Kalimantan Selatan dan menduduki pulau-pulau sekitarnya, lebih dahulu daripada kedatangan suku-suku Muslim dari rumpun Bugis yaitu suku Bugis, suku Makassar, suku Mandar .
Wilayah yang terdapat suku Bajau, antara lain :
- Kalimantan Timur (Berau, Bontang, dan lain-lain)
- Kalimantan Selatan (Kota Baru) disebut orang Bajau Rampa Kapis
- Sulawesi Selatan (Selayar)
- Sulawesi Tenggara
- Nusa Tenggara Barat
- Nusa Tenggara Timur (pulau Komodo) dan lainnya
2. Tradisi perayaan hari-hari besar islam suku bajau.
Terdapat kesamaan dengan masyarakat pada umumnya meskipun dalam hal adat istiadatnya tersendiri akan tetapi dalam merayakan hari-hari besar islam ini mereka melakukannya sesuai dengan apa yang dilakukan oleh masyarakat pada umumnya.
E. Kaum pendatang.
kaum pendatang ini diidentifikasikan sebagai suku jawa, suku bugis serta suku-suku lainnya yang awal kedatangannya karena beberapa alasan seperti program pemerintah Transmigrasi, karena ingin mencari penghidupan yang layak dan lain sebagainya. Kaum pendatang inipun membawa kebudayaan mereka tersebut kedaerah Kalimantan sehingga perayaan dalam menyambut hari-hari besar islam dengan ciri khas masing-masing. Akan tetapi secara keseluruhan semua itu dilaksanakan dengan bersama-sama dengan suku yang lainnya sehingga hal ini menjalin tali silahturahmi yang kuat sebagai umat islam.




Kesimpulan
Perayaan yang dilakukan oleh suku-suku yang ada dikalimantan ini merupakan sebuah gambaran yang mencerminkan bahwa islam bisa mewarnai kebudayaan yang ada. Islam merupakan agama yang universal yang mampu diterjemahkan beragam oleh berbagai suku bangsa yang tentu saja dalam koridor nilai-nilai islam atau tidak menyalahi. Hal ini yang membuat islam tidak langsung terbentur oleh kebudayaan awal sebelum islam.
Dari pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa perayaan yang dilaksanakan oleh sebagian besar penduduk Kalimantan ini sesuai dengan syariat yang tidak menyalahi nilai-nilai keislaman karena semua itu dilakukan dengan niat meningkatkan ibadah dan takwa serta setiap hari-hari yang istimewa dalam islam itu dijadikan ajang berkumpul dan bersilaturahmi dengan sesame muslim menurut adat dan kebudayaannya itu.
Referensi
Yusriadi, Penyebaran Islam di Sungai Embau, Kapuas Hulu (Kalimantan Barat), Khatulistiwa Journal of Islamic Studies, Pusat Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat STAINPontianak, 2005
Nur Syam, “Islam Pesisir’ (Jogyakarta: LKIS, 2005)
Prof.Dr. Ahmad Shalaby. (2001).Kehidupan sosial dalam pemikiran islam. Bandung. Penerbit Amzah
Nanih Machendrawaty dan Agus Ahmad.(2001). Pengembangan Masyarakat Islam: Dari Ideology, Strategi, Sampai Tradisi. Bandung. Rosdakarya.

1 komentar:

Rasa Manis mengatakan...

Kehidupan beragama di kalimantan ini sudah menjadi keharusan bagi setiap individu


http://www.marketingkita.com/2017/08/Manajemen-Sumber-Daya-Manusia-Dalam-Ilmu-Marketing.html