MENU

Jumat, 25 November 2011

Ga Perlu Marah Bung...

Malam ini kembali kang Asmu berbicara dihadapan Geng Percil dan masalahnya adalah kesabaran dalam menghadapi berbagai masalah dan orang yang belum mengerti tentang islam. Masalah ini dipilih karena di televisi lagi musimnya berita anarki yang berawal dari permasalahan yang diselesaikan dengan cara-cara yang kasar. Mulai dari kaum terpelajar, kaum buruh dan lainnya selalu mengedepankan amarah dalam menyelesaikan suatu masalah. Oleh karena itu Kang Asmu tidak ingin Geng Percil kelak menjadi seperti itu. Sambil duduk di hadapan anak-anak, Kang Asmu bercerita tentang hadist yang diriwayatkan oleh Bukhori Muslim.
Saat itu Rasulullah Saw dan para sahabat berkumpul seusai sholat berjamaah, tiba-tiba saja datang seorang lelaki badui ( wong Ndeso, jika kita comot ucapannya tukul) menuju kedalam masjid tanpa permisi. Dasarnya orang badui yang memang kebanyakan emang tidak tahu apa-apa tentang thaharah atau bersuci, badui itu lansung aja kencing di masjid.
Melihat hal itu karuan saja para sahabat bangkit dan hendak memburunya. Bahkan ada yang saking marahnya melihat itu sampai menghunus pedangnya dan diantaranya adalah Umar bin Khattab. Namun, dengan cekatan Rasulullah segera bereaksi mencegah para sahabat dan membiarkan lelaki badui itu menyelesaikan kencingnya.
Mengapa nabi mencegah para sahabat mengejar sang lelaki badui? Karena nabi ingin mengajarkan kesabaran kepada para sahabatnya dalam menghadapi suatu kejadian. Selain itu, jika sampai lelaki badui itu dikejar trus hajatnya belum selesai kan lebih fatal lagi akibatnya. Air kencing itu bisa tercecer kemana-mana. Setelah selesai lelaki baduy itu diberi nasehat oleh Rasulullah tentang cara-cara berthoharoh menurut islam. Dan Rasulullah pun menyuruh Umar untuk mengambil air untuk membersihkannya.
" Untuk itu, setiap masalah itu jangan main kekerasan langsung akan tetapi perlu kesabaran dan saling menasehati. barangkali orang yang salah itu belum mengerti atau salah pemahamannya. Seperti halnya ketika ada orang tersesat maka yang harus kita lakukan adalah dengan menunjukkannya jalan yang benar. iya tho? apa orang yang tersesat itu langsung kita marahi dan pukuli??" kata kang Asmu memberikan kesimpulan.

Gaji Buta Tanpa Kerja, No Way...

Wah kali ini Kang Asmu menceritakan tentang kejadian lucu namun mempunyai banyak hikmah dihadapan anak-anak Geng Percil diserambi mushola Nurul Ikhlas.
" Mau cerita pejabat yang mesti dicontoh ga?" Tanya Kang Asmu pada geng percil.
Mereka mengangguk menyetujui, mereka senang dengan kisah-kisah teladan dari kang Asmu, masih teringat akan kisah lucu si Firka yang berganti nama atau Abu yang lucu. Seringnya itu mereka kerap menjadikan cerita dari kang Asmu itu sebagai bahan obrolan mereka diwaktu senggang, terkadang muncul beberapa perbedaan cara mereka memahami cerita kang Asmu.
" Kisahnya nih Umar menjadi hakim agung saat Abu bakar menjadi pemimpin islam saat awal periode setelah Nabi Muhammad Saw Meninggal. Sudah setahun menjadi hakim agung Umar menemui Abu bakar untuk mengundurkan diri. "
" Kenapa kang kok mengundurkan diri?" Tanya Eko mengacungkan jari telunjuknya.
" Malu " jawab kang Asmu singkat.
" kok Malu?"
" Lho malu kenapa kang?"
" Umar merasa makan gaji buta..."
" Maksudnya apa kang?"
" Ya Umar merasa ga kerja saja karena selama dia jadi hakim tidak ada masalah atau punya perkara yang harus diselesaikan alias keadaan masyarakat aman dan tentram. "
" Jadi Umar merasa tidak kerja ya Kang?" Ujang nyeletuk.
" Betul, malu dia makan gaji buta karena dia tidak melakukan sesuatu..dia ingin uang yang didapat itu benar-benar haknya setelah melakukan kewajibannya.."kata Kang Asmu.
"Wah hebat ya..." Kata Sundari. Semuanya sepakat dengan Ndari.
" Itulah adik-adik, ketika menjadi pejabat menjadilah pejabat yang selalu mengingat Alloh, menjadi pedagang yang baik, menjadi orang yang selalu melakukan kewajibannya dengan baik kemudian baru meminta hak..."
" Umar menjadi contoh yang baik tuh..iya kan kang?" kata Dodi.
Kang Asmu mengangguk. Anak-anak bersemangat dan mengingat ini ketika sudah dewasa kelak.

Minggu, 20 November 2011

Boneng Tobat

Sangat panas sekali suasana pemakaman pak Jahal yang meninggal kemarin karena tertimpa pohon yang tumbang di hutan. Pekerjaan sebagai pencari kayu ilegal atau lebih kerennya disebut ilegal logging oleh masyarakat memang pekerjaan yang mempunyai banyak resiko. Pekerjaan ini memang menjadi pekerjaan alternatif untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga pada saat tanaman yang dikelola di ladang tidak membuahkan hasil yang menguntungkan. Suasana pemakaman yang panas terik itu dihadiri juga oleh Kang Asmu  dan si Boneng yang sepanjang perjalanan kepemakaman selalu berbelasungkawa.
" Kasihan sekali Pak Jahal itu...." katanya.
Kang Asmu menoleh heran.
" kenapa Neng?"
" Ya kasihan saja selama hidupnya kan jarang melakukan kebaikan.."
" Lho kok sampeyan tau?" 
" lha wong dia itu sering ketempat pelacuran tiap gajian, adu ayam, minuman keras bareng eh..." Ucapan boneng terputus.
" Hayo bareng sampeyan yo?" Pancing kang Asmu. Wajah Boneng memerah.
" Tapi aku jarang kok..." jawabnya polos.
" Terus...?"
" Kasihan Pak Jahal belum sempat tobat sudah meninggal "
Kang Asmu diam sejenak.
" Jika Alloh menghidupkannya kembali gimana?"
" Pastilah dia bertobat dan beramal terus"
Kang Asmu tersenyum dan berkata
" Nah karena pak Jahal ga mungkin lagi hidup kembali jadi mending kita yang masih hidup ini yang tobat ..."
Boneng tertegun 
" Kan kita ga tau kapan meninggalnya jadi mesti siap-siap.." lanjut kang Asmu
Entah oleh sebab apa hingga kini setiap azan subuh yang biasanya dikumandangkan oleh Ujang berganti dengan suara lantang Boneng. Akhirnya Boneng menjadi lebih baik dari sebelumnya.
" Perbanyaklah mengingat pemutus kenikmatan: yaitu kematian. Karena sesungguhnya tidaklah seseorang mengingatnya di waktu sempit kehidupannya, kecuali (mengingat kematian) itu melonggarkan kesempitan hidup atas orang itu. Dan tidaklah seseorang mengingatnya di waktu luas (kehidupannya), kecuali (mengingat kematian) itu menyempitkan keluasan hidup atas orang itu". (HR. Ath-Thobaroni dan Al-Hakim Shahih Al-Jami’ush Shaghir: no. 1222; Shohih At-Targhib, no: 3333)