MENU

Minggu, 12 Juni 2011

Trans Bebanir Bangun (Part 2)


Sekitar 10 taksi angkutan desa disiapkan untuk membawa kami semua yang menuju ke lokasi transmigrasi. Tahun 1993 kota Tanjung Redeb masih begitu sederhana dan lenggang. Aku membandingkannya dengan Malang yang lebih ramai. Di dalam angkutan desa itu aku di pangku oleh ibuku, sambil menunggu keberangkatan aku melihat beberapa anak yang menangis karena berada ditempat yang asing baginya dan ada pula yang merengek minta pulang. Ayahku masih menyusun barang kami diatas angdes itu, banyak sekali memang yang dibawa oleh ayahku karena hampir seluruh barang yang ada dirumah di desa tegalron malang dibawa semua kecuali memang yang terlalu rumit untuk dibawa ya terpaksa ditinggal.
Jam dinding besar berdiri dimenara kecil di sudut tikungan jalan pelabuhan yang diseberang jalan banyak dipenuhi rumah pedagang tionghoa. Sebelum keluar pergudangan tempat kami tidur semalam ada pos polisi sekilas saat kami melewati pos itu seorang polisi tampak tersenyum dan hormat kearah kami yang dibalas klakson supir.
Belok kanan setelah dari pos polisi kami berjalan lurus dan berhenti sejenak di perempatan lampu merah yang ditengahnya terdapat sebuah menara bagus, itu adalah start bundar yang menjadi salah satu ikon kota Tanjung Redeb. Ketika ada perempatan kedua yang tidak ada lampu merahnya kami terus saja tak berhenti dan kemudian belok kiri dan terus lurus. Untuk bagian yang kami lalui aku mengakui jalan disini cukup tertata. Aku menoleh ke arah kiri ketika tampak sekali orang berseliweran di pasar gayam pasar terbesar di kabupaten ini dan juga pasar teramai apalagi pagi seperti ini. Setelah melewati pasar angdes naik melewati jembatan yang baru kali ini aku lihat karena memang berbeda dengan dengan jembatan di jawa pada umumnya.
Total sebelum mencapai lokasi trans kami melewati 6 pegunungan yang tinggi dan kemudian menyusuri jalanan datar bergelombang beberapa kilo meter. Aku mulai sumringah ketika telah sampai digerbang masuk, dari kejauhan tampak ratusan rumah berjejer teratur berwarna putih. Pelan namun pasti mobil angkutan kami mulai memasuki kawasan transmigrasi. Jalannya masih belum baik dan bergelombang dengan dipenuhi ranting-ranting kecil yang memenuhi jalan, sana sini banyak pokok pohon yang belum sempurna terpotong, parit buatan yang belum teratur kelebarannya dengan ujung sana dan sini.
Kami dikumpulkan di depan sebuah bangunan besar yang dinamakan gudang penampungan. Semua berkumpul untuk dibagi kelompok sesuai urutannya sebagai penentuan letak rumah tempat tinggal. Rumah-rumah kayu yang  itu adalah tertata rapi itu mempunyai 3 jendela di depan, dua yang tepat disebelah pintu masuk dan satunya lagi ada di sisi yang berbeda  dan aku menduganya adalah jendela kamar depan. Di belakang rumah itu kira-kira 5-6 meter terdapat bangunan kecil yang unik dan aku menganggapnya mungkin itu gudang rumah atau malah tempat buat ayam ternak yang mungkin akan kami punyai nanti. Sengaja aku tidak bertanya karena kulihat semuanya sedang sibuk. Aku kembali mengedarkan pandangan ke sekeliling. Kakakku sibuk mengangkat barang dan mengumpulkan didekatku yang bertugas menunggu dan menjaga. Ibuku sedang mengambil jatah makanan yang disediakan oleh orang-orang kampung asli atau orang dari dinas mungkin. Ayahku sedang berkumpul dengan bapak-bapak yang lain menunggu pembagian letak rumah. Kakakku sulkhan menepuk pundakku.
“ as, iku nggonmu mengko..!” ucapnya sambil menunjuk kearah bangunan kecil mungil mirip rumah dibelakang rumah besar yang sempat kupikirkan tadi.
“ ah iku kandang ayam..” sahutku.
“ iku WC as..” kata ibuku yang baru saja datang membawa makanan dalam rantang. Kulirik kakakku yang menjulurkan lidahnya mengejek.
Semalam aku merasakan untuk pertama kalinya tidur dirumah baruku, rumah harapannku rumah yang akan menemani keluargaku menjadi lebih baik dari ketika di Malang dulu. Musim hujan makanya saat malam terasa dingin, sebenarnya nyamuknya banyak sekali karena kebetulan ayahku kebagian rumah di jalur belakang dari 3 jalur yang ada, itu artinya di belakang kami hanya hutan belantara yang lebat. Semalam tidurku tidak nyenyak. Suara burung-burung, riuhan hutan yang seolah hidup karena terjangan angin, sayup-sayup kudengar juga suara lengkingan binatang hutan seperti monyet. Aku mengalami tidur yang berbeda dalam seminggu ini dimulai dari malang yang setiap harinya selalu selalu dipenuhi suara kendaraan bermotor, kemudian di lautan yang hanya terdengar suara mesin kapal dan riak ombak serta sekarang ini dipinggir hutan yang menurutku menyeramkan seperti menyeramkannya film misteri gunung merapi yang diperankan oleh farida pasha itu, semua suara dari hutan semalam ibaratkan suara lengkingan tawa hantu. Masih terasa juga pahitnya pil yang diberikan ayahku semalam. Pil untuk antisipasi kena penyakit malaria karena hutan disini memang bisa jadi tempat bersarang nyamuk anopheles betina.
Rumahku kembar dengan ratusan rumah lainnya. Berbahan kayu yang serupa dan bentuk yang sama. Warna putih rumah ini bukanlah berasal dari cat yang bagus tapi kapur alias gamping kami menyebutnya. Setiap aku bersandar selalu meninggalkan warna putih dipunggung bajuku. Rumah ini panggung ini mungkin rumah khas Kalimantan pikirku atau bentuk tanggap bencana karena dibeberapa titik kawasan trans ini ada yang rawa jadi perlu dibuat rumah panggung. Bangunan kecil yang ternyata WC itu juga sangat berbeda dengan dijawa yang memakai kloset karena hanya lubang saja dan sederhana. Tidak perlu menyiram dan praktis seperti disungai dulu langsung nyemplung plung plung dan plung. Aku bergidik namun akhirnya aku terbiasa setelah esoknya aku sakit perut dan harus bolak-balik kesitu. hari kedua semua warga Trans mendapatkan beberapa barang yang menjadi kebutuhan pokok mulai dari ikan asin besar yang cukup untuk persediaan seminggu lengkap dengan sembako, kelambu, beberapa benih tanaman dan juga alat bercocok tanam seperti cangkul, parang, sabit dan lain sebagainya. inilah hidup baru kami menjadi petani dan aku gembira sekali keluargaku telah punya segalanya yang diberikan gratis oleh pemerintah. Tanah, rumah, modal hidup dan saudara-saudara baru. Aku memegang perutku yang masih terus bergolak, agaknya aku terlalu banyak makan kacang kulit yang semalam kumakan. Kang Sonhaji kakakku mendatangiku dan membawa sebuah kapal kecil dari kayu yang diberi tali diujung depannya.
" Iki As kapal-kapalan gawe awakmu.." ucapnya sambil menyerahkan kapal-kapan itu padaku.
" matur suwun kang.." aku tersenyum senang.
sorenya aku memainkannya dengan Alfan kakakku yang lain, dia tidak membuat kapal-kapalan tapi dia membawa pancingan. Paritnya jernih sehingga ikan gabus dan betik terlihat jelas. 

Tidak ada komentar: